
Jakarta -
Tuntutan menulis di jurnal terindeks Scopus seakan menjadi harga mati. Perguruan Tinggi (PT) didorong untuk mempublikasikan karyanya di jurnal terindeks Scopus dan terindeks yang bereputasi lainnya. Kewajiban itulah yang seringkali menjadikan masalah. Salah satunya munculnya predator Scopus.
Predator Scopus ialah mereka yang memanfaatkan peluang ini dengan menjadi "biro jasa". Artinya, mereka bisa bertindak sebagai pribadi dan forum yang sanggup "menjamin" goresan pena seorang dosen/peneliti dimuat di jurnal terindeks Scopus.
Mereka masuk melalui jalur resmi maupun tak resmi. Dari jalur resmi saya kira ini yang sangat menyedihkan. Sebuah PT mendatangkan seseorang yang konon memiliki jaringan di jurnal-jurnal terindeks Scopus. Dia dibayar puluhan juta rupiah setiap bulan. Tidak hanya itu, ia juga masih meminta komplemen kepada dosen yang ingin menerbitkan jurnal terindeks Scopus.
Keberadaan seseorang yang dibayar eksklusif oleh PT itu sungguh menyesakkan. Demi reputasi dan harapan untuk naik peringkat dan mendapat akreditasi dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) serta dari luar mereka mau membayar berapa pun. Ironisnya, keberadaan seseorang ini tidak lebih hanya menguras kas kampus. Dia tidak bekerja untuk kepentingan dunia akademik. Melainkan memuaskan nafsu dahaga ketenaran. Betapa tidak, ia selalu tiba ke fakultas-fakultas bahkan prodi tertentu untuk memperlihatkan jasa. Semua pembicaraan berujung pada uang.
Kerja akademik dari hasil penelitian luntur begitu saja dikala ia tiba memperlihatkan tawaran sanggup dimuat di jurnal ini dan itu. Kerja akademik riset ilmiah pun seakan tidak berkhasiat dikala tidak dikirim dan dimuat di jurnal terindeks Scopus. Indeks Scopus seakan menjadi dewa bagi dunia akademik dikala ini. Bahkan banyak dosen kemudian berkisah "lebih gampang masuk nirwana dibandingkan masuk Scopus".
Cerita lain dari seorang sobat yang kampusnya memakai agen jasa Scopus ialah ia diminta sekian juta untuk editing, sekian juta untuk submit, sekian juta untuk cek plagiarisme di Turnitin (website pendeteksi plagiarisme). Padahal di kampus kami memakai Turnitin gratis. Dia harus mengeluarkan Rp 1.500.000 untuk cek keaslian tulisannya. Saya sampaikan ke dia, "Kirim tulisanmu ke saya, saya akan cek di kampus, gratis."
Ironisnya, hal tersebut diamini oleh beberapa dosen yang telah terobsesi dengan Scopus. Bahkan, seseorang yang ingin segera meraih guru besar pun tergiur untuk memanfaatkan jasa agen tersebut. Padahal agen jasa itu belum tentu bisa menjamin setiap goresan pena kita dimuat di jurnal terindeks bereputasi.Benalu Akademik
Keberadaan mereka ialah parasit bagi dunia akademik. Kampus harus berani tegas mengusir mereka dari dunia akademik. Kampus harus higienis dari para predator Scopus itu. Uang puluhan juta rupiah itu ada baiknya dipakai untuk meningkat kualitas riset dan atau membiayai penelitian supaya lebih serius (bermakna bagi masyarakat).
Kualitas riset menjadi hal utama untuk publikasi bereputasi. Tanpa riset yang anggun dan menemukan kebaruan (novelty) akan sulit bersaing dengan penulis lain. Pembudayaan tradisi riset tersistem dan cara penulisan yang memadai menjadi kata kunci penting dalam publikasi ilmiah.
Lebih lanjut, kampus perlu sanggup berdiri diatas kaki sendiri dalam mengelola aset risetnya. Artinya, kampus perlu mengindentifikasi kualitas penelitian dosennya. Memasukkan ke jurnal terindeks Scopus bukan kasus yang sulit. Asalkan sesuai dengan focus and scope yang diminta dan panduan penulisan, maka seseorang memiliki peluang yang sama dimuat di sana.
Menggunakan agen jasa/predator Scopus juga merupakan pelecehan kelembagaan dunia akademik. Pasalnya, setiap orang sanggup mengakses jurnal-jurnal yang telah terindeks di web Scopus.com dan atau Scimago.com. Semua data sudah lengkap di sana. Website itu sanggup diakses di mana saja dan kapan saja. Seseorang sanggup menentukan jurnal sesuai risetnya.
Indeksasi Mandiri
Oleh alasannya ialah itu, pemerintah ada baiknya tidak terlalu silau dengan pemeringkatan dunia. Pemerintah perlu keluar dari jebakan predator Scopus dengan membangun indeksasi yang baik. SINTA (Science and Technology Index) 2 yang kini terus berbenah saya kira menjadi awal yang baik supaya dunia akademik tidak diperkosa oleh sindikasi uang. Artinya, dengan membangun indeksasi sendiri (mandiri), seseorang tidak harus menggadaikan kehormatan dan martabatnya demi dimuat di jurnal terindeks Scopus dengan pinjaman para predator.
Predator Scopus kini telah masuk ke banyak universitas. Mereka tiba berwajah malaikat, padahal mereka ialah iblis. Mereka tidak sedang membantu mengangkat derajat dunia akademik. Mereka sedang memainkan kelemahan ini untuk menumpuk rupiah. Orientasi mereka bukan untuk mewartakan temuan ilmiah kepada masyarakat dan meneguhkan donasi dunia akademik pada kehidupan masyarakat luas. Namun, mereka sedang ingin menguras uang dosen yang gajinya tidak besar untuk memuaskan dahaga termuat di jurnal terindeks Scopus.
Pada akhirnya, dunia akademik perlu segera sadar dan bangkit. Artinya, dunia akademik perlu menyelamatkan diri dari gempuran jejaring predator Scopus. Predator Scopus hanya akan mengotori wajah kajian ilmiah/penelitian ilmiah. Mereka tidak sedang membawa kajian akademis kepada khalayak luas. Namun, mereka hanya memanfaatkan keluguan para dosen dan pejabat di kampus demi kepentingan uang.
Benni Setiawan dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon