
Jakarta -Dalam konteks demokrasi Indonesia kontemporer, mobilisasi massa semakin menarik untuk dibaca. Massa menampilkan wajah paradoksal dalam arena-arena demokrasi di negara kita.
Di satu sisi, massa hadir dalam wajahnya yang sukarela untuk mengekspresikan aspirasi dan pinjaman politik dalam kontestasi elektoral. Identifikasi dan preferensi politik diartikulasikan dengan wajah yang kolosal namun ceria. Massa secara nrimo mengorbankan apa yang dimilikinya dari sekedar tenaga, pikiran, jaringan pertemanan, sampai support finansial.
Mereka mengakibatkan ruang-ruang ekspresi massal dalam bentuk pinjaman dan saingan sebagai arena ideologis untuk memperjuangkan apa yang seharusnya (ought to). Mereka menampilkan karakteristik yang diidentifikasi oleh teori tindakan kolektif Marcus Olson (1965), yaitu kedap dan merdeka (isolated and independent) dalam tetapkan sebuah kontribusi. Wajah massa inilah yang diglorifikasi oleh para optimis politik sebagai voluntarisme publik.
Massa dalam dimensi ini diyakini banyak pengamat telah memenangkan pasangan Jokowi-Ahok dalam Pilgub Jakarta 2012 dan pasangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014. Jauh sebelumnya, massa dalam tabiat demikian berhasil melengserkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya yang secara politik memang sudah renta pada 1998.
Transformasi
Di sisi lain, massa hadir dalam wajah yang pragmatis dengan aneka motif dan modus. Mereka hadir dalam gerombolan (mob) yang dimobilisasi untuk kepentingan-kepentingan ekonomis. Mereka tidak semata bergerak dalam kerangka kesukarelaan, namun lebih alasannya yaitu pamrih ekonomi. Gerombolan jenis ini sanggup diidentifikasi pada masing-masing kelompok pendukung kontestan elektoral, baik yang pro maupun kontra kandidat tertentu. Kelompok massa dengan karakteristik ini secara generik dilabeli massa bayaran, dan belakangan secara peyoratif disebut "pasukan nasi bungkus".
Di luar kontestasi pemilu, massa dengan huruf ini juga gampang dimobilisasi untuk merusak kantor media massa atau mengintimidasi pekerja media sebagai cara merespons produk dan karya jurnalistik, alih-alih memakai hak jawab. Mereka juga bisa digerakkan untuk merazia tempat-tempat hiburan secara selektif di sebuah kawasan, di atas dalih amar ma'ruf nahi munkar, dengan membiarkan beberapa lokasi di antaranya alasannya yaitu "merit" yang sudah dikeluarkannya.
Mereka juga kerap dikerahkan untuk mempengaruhi dan menekan proses-proses projusticia di pengadilan. Dalam catatan Setara Institute rentang 1965-2017, dari 97 perkara penodaan agama yang terjadi, terdapat 62 perkara yang melibatkan tekanan massa dan nyaris seluruhnya divonis bersalah dengan tekanan massa tersebut. Intinya, massa juga dipakai untuk melawan aturan dan merusak nilai-nilai demokrasi.
Mengingat demokrasi merupakan soal pemerintahan orang banyak (majority rule), pembahasan mengenai massa menjadi sangat relevan. Dalam konteks yang sama, instrumentasi massa melalui mobilisasi untuk mengekspresikan tuntutan politik, baik dalam wujud pinjaman maupun tentangan, menjadi pilihan yang menarik bagi aktor-aktor politik.
Dalam perspektif teori tindakan kolektif Olsonian, sebuah tindakan kolektif menyerupai agresi massa bahwasanya mengidap kesulitan intrinsik berupa heterogenitas kepentingan sekaligus sumber daya di antara mereka. Untuk mengatasi kesulitan itu, maka diharapkan sekelompok kecil orang yang menjalankan fungsi produksi yang menghubungkan aneka macam sumber daya serta perbedaan kepentingan dan bantuan masing-masing ke dalam satu kebaikan bersama (collective good). Fungsi tersebut diampu oleh kelompok kecil yang disebut massa kritis (critical mass).
Massa kritis merupakan segmen kecil dalam sebuah populasi yang menyumbang bantuan besar terhadap sebuah tindakan kolektif, di ketika secara umum dikuasai hanya bersumbangsih kecil atau tidak melaksanakan apa-apa sama sekali (Oliver, Marwell dan Teixeira, 1985)-mirip dengan tugas minoritas kreatif (creative minority) berdasarkan konsepsi Arnold Toynbee dalam A Study of History (1934-1961). Massa kritis ini bekerja mempertautkan bermacam-macam kepentingan dalam satu simpul gerakan dengan memobilisasi ketidaksadaran (unconsciousness).
Pada masa pra media sosial, fungsi massa kritis ini gampang diidentifikasi alasannya yaitu menempel pada elite-elite ekonomi, politik, dan sosial-keagamaan, sehingga restriksi dan limitasi atas tugas massa kritis gampang dilakukan, contohnya dengan kebijakan korporatokratis menyerupai yang diambil oleh Soeharto mulai selesai 1970-an untuk membuat tindakan kolektif yang terkontrol atas nama keamanan dan ketertiban.
Di masa media sosial, kelompok kritis mengalami transformasi; semakin terpecah (fragmented), menyebar (widespread), dan tak kasat mata (invisible). Namun tugas mereka semakin solid melalui sentuhan pseudo ideology. Sehingga segencar apapun aparatur kekuasaan, elite politik, dan sosial-keagamaan dimobilisasi untuk mencegah sebuah gerakan kolektif massa, hal itu tidak akan betul-betul efektif.
Sebab, produksi sumber daya dan bantuan terus dilakukan oleh massa kritis siber melalui aplikasi-aplikasi media umum dan messenger, dengan basis dan orientasi kebaikan kelompok berupa ideologi semu, menyerupai justifikasi agama dan sentimen primordial, termasuk sentimen pro-kontra kontestan elektoral yang melampaui impuls ekonomis. "Kelompok kritis siber" inilah yang sesungguhnya bekerja memobilisasi massa dalam beberapa jilid "aksi bela Islam" pada Pilkada DKI dua tahun lalu.
Melawan Hoaks
Hoaks --termasuk untuk kepentingan black campaign dalam politik elektoral-- pun bekerja dalam kerangka itu. Para produsen hoaks memperkuat basis dan orientasi berupa "kebaikan bersama" dengan "ideologi semu" yang bisa menggerakkan peserta isu di luar kesadarannya, untuk menyebarluaskan melalui share dan post yang sanggup melipatgandakan imbas isu palsu itu menjadi gerakan massa.
Dalam konteks itu, tata kelola pencegahan hoaks mestinya bukan sekedar soal pencegahan produksi konten isu palsu dan penegakan aturan atas pelakunya, tetapi juga pada administrasi kapasitas massa daring untuk tidak gampang mengakibatkan isu palsu sebagai kebaikan kolektif. Aparatur negara, khususnya pegawanegeri keamanan siber, bersiaplah untuk mengalokasikan sumber daya besar jikalau sekedar berhasrat memerangi penyebaran isu palsu yang "tidak akan ada matinya" di masa new media.
Tanpa diimbangi dengan kapasitas untuk membangun dan memobilisasi kesadaran warga (civic consciousness) atas urgensi ruang publik virtual yang berkeadaban dan kritisisme berbasis literasi di dunia pendidikan dan kebudayaan kita, maka perang melawan hoaks hanya akan menjadi agenda "pemadam kebakaran" yang bekerja lebih banyak untuk memadamkan bara, bukan untuk mencegah berkobarnya api.
Halili pengajar Ilmu Politik pada Prodi PPKn FIS UNY
Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon