
Jakarta -Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengetuk palu keputusannya pada 27 Juni, saatnya lonceng rekonsiliasi dalam optik kepentingan kolektif-bernegara dibunyikan sekuat-kuatnya. Semua elite yang selama ini berjubahkan perbedaan politik hendaknya segera melangkah ke dalam ruangan rekonsiliasi. Segala kebisingan politik sumbangan dari mesin kontestasi pilpres harus dilarang lewat unjuk kebijaksanaan para elite untuk rujuk, menyejukkan kembali suasana politik.
Pihak yang dinyatakan menang tak perlu jumawa berlarut-larut, sedangkan yang kalah pun tak perlu berkecil hati. Karena esensi politik bukan diksi menang-kalah yang diabadikan, tetapi nilai-nilai kebaikan bersama: inklusivitas dan kedewasaan berpolitik sebagai warisan bagi peradaban politik kita. Politik yaitu alat untuk mengabadikan manusia. Persisnya, internalisasi nilai-nilai humanitas itu yang perlu dikonstruksi dalam interaksi berpolitik. Bukan pemfokusan ambisi individu, kelompok, bahkan sikap ultra-irasional yang memistikkan politik identitas dengan segala sentimennya.
Seandainya benang-benang kohesi bisa dipintal para elite, kita yakin segala perbedaan sikap dan tensi sosial-politik yang meninggi di masyarakat selama ini akan mereda. Sebenarnya moralitas perdamaian tersebut sudah "terakreditasi" oleh banyak sekali pertemuan yang dilakukan oleh para tokoh politik belum usang ini. Misalnya kunjungan Putra Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) ke Presiden Joko Widodo, dilanjutkan dengan menyambangi Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, termasuk BJ Habibie dan istri mendiang Presiden ke-4 RI Gus Dur, Sinta Nuriyah Wahid.
Pertemuan tersebut setidaknya akan mengalirkan "adrenalin" kerendahan hati bagi para politisi yang lain untuk merekatkan kembali persaudaraan. Yang kita tunggu kini bagaimana Joko Widodo-Prabowo Subianto berjabat tangan dan berpelukan mesra di panggung politik. Dua entitas yang memilih eskalasi politik nasional ke depan tersebut tentu tidak akan tega membiarkan ujung dari tahapan kontestasi pilpres menjadi tumpul dan dingin hanya sebab keegoan dan ketidakikhlasan menghormati hasil pemilu.
Apalagi dalam penutup mereka di kampanye pilpres, 30 Maret, Jokowi dan Prabowo mengakui di antara mereka sudah terjalin ikatan persahabatan yang berpengaruh melampaui kepentingan politik sesaat. Prabowo pada kesempatan itu bahkan menyatakan kepada kubu pendukung Jokowi-Maruf bahwa tidak ada rasa benci sedikit pun dalam dirinya terhadap lawan politik. "Kita berjuang untuk rakyat bersama-sama, biarlah rakyat yang memilih yang terbaik untuk bangsa."
Kini, rakyat sudah memilih hasilnya. MK juga sudah memutuskan kebenaran aturan dari sengketa pilpres. Rasanya tak ada lagi kendala serius bagi dua tokoh jago ini untuk mengambarkan ucapan mereka kemarin.
Penentuan apa yang benar itu memerlukan penentuan perdamaian terus-menerus dan upaya mereduksi konflik sebagai instrumen politik. Kebenaran yang hakiki yang bisa diinterpretasi sebagai nilai yang "abadi" bagi kemaslahatan publik hanya bisa diraih jikalau ada kedamaian (rekonsiliasi).
Persoalannya kemudian, sejauh mana rekonsiliasi kelak dimaknai sebagai cara untuk membangun keutuhan bangsa dan untuk memproyeksikan nasib Indonesia lima tahun ke depan yang lebih progresif. Kita tak ingin rekonsiliasi yang terwujud itu dimaknai secara transaksional dengan taktik power sharing, alias sekadar deal-deal jabatan. Kalau itu yang terjadi, maka kekuatan oposisi yang dibekingi partai-partai pendukung Prabowo niscaya akan kempis.
Yang diharapkan dikala ini bukan saja kondisi pemerintahan yang stabil dan kondusif, tetapi juga kontrol yang sehat terhadap kekuasaan semoga check and balances dalam pemerintahan tidak lenyap. Hanya ini yang akan menciptakan demokrasi kita tumbuh kuat.
Tidak Melenceng
Kita tetap butuh partai oposisi sebagai barisan untuk memastikan semoga pemerintah tidak melenceng dari rel konstitusi dan prinsip kedaulatan rakyat. Sebagus apa pun proyeksi kita terhadap suatu pemerintahan, yang namanya kekuasaan akan cenderung korup. Jika kita menyayangi pemerintahan dan menginginkan pemerintahan tersebut memberi bantuan yang efektif dan maksimal terhadap masa depan dan kesejahteraan rakyat, maka jangan pernah membiarkan ia meniti zona nyamannya di tengah kumpulan politisi "yes man".
Kalaupun demi percepatan rekonsiliasi, taktik "siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana" harus dikedepankan, maka realisasikan taktik tersebut bukan di domain direktur atau di BUMN, tetapi di domain legislatif, dengan memperbesar porsi barisan oposisi di posisi penting di parlemen. Dengan demikian nalar kritis di tubuh legislatif bisa tetap bergaung untuk mengkritisi banyak sekali kebijakan pemerintah.
Di sisi lain, kita ingin partai pendukung Prabowo menggenggam kuat-kuat insentif moralnya terkait marwah dan harga dirinya, untuk tidak gampang terpikat pada silaunya masakan ringan manis politik di eksekutif. Rakyat tentu akan menilai dengan mata telanjang, bagaimana konsistensi mereka dalam melanggengkan prinsip berpolitik yang sehat dan demokratis, sebagaimana yang menjadi jualan politik mereka selama ini.
Memang ini menjadi tantangan tersendiri bagi prospek koalisi pasca-pilpres. Di tengah sistem presidensial murni yang berlaku, ditambah lagi sikap parpol yang miskin ideologi dan office seeking minded, cita-cita untuk "mengisap" hampir semua kekuatan politik demi mendapat dominan sumbangan politik, dan cita-cita untuk mendekat pada kekuasaan, tentu akan terus membesar. Taruhannya bisa jadi yaitu kabinet pemerintahan yang nir-teknokratis alias medioker yang akan merintangi kerja pemerintahan Jokowi-Maruf Amin.
Pada konteks inilah kita menunggu replika politik menyerupai apa yang mau dibentuk oleh para elite. Apakah model politik yang kaya insentif pragmatis semata atau benar-benar ingin menghadirkan praktik politik "kelas tinggi" yang digawangi oleh prinsip rasionalitas, kebijaksanaan sehat, kebijaksanaan tanpa mau dijajah oleh nafsu-nafsu politik yang berkeliaran, untuk mengedepankan kehidupan demokrasi yang lebih sehat dan mengabdi pada kemaslahatan publik. Panggung demokrasi Indonesia rasanya akan menjadi elegan, terhormat, dan akan selalu teresap dalam sejarah jikalau replika itu yang dibangun.
Umbu TW Pariangu dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon