Tuesday, September 24, 2019

Gejayan Memanggil: Viral Di Media Sosial, Masif Di Lapangan

Gejayan Memanggil: Viral di Media Sosial, Masif di LapanganAksi "Gejayan Memanggil" (Foto: Pradito Rida Pertana)

Jakarta -

Sejak Sabtu (22/9) malam, viralnya postingan-postingan yang berisikan pesan singkat broadcast undangan agresi tenang di Gejayan, Yogyakarta oleh aliansi sekelompok masyarakat yang terdiri dari satuan pelajar, mahasiswa, dan masyarakat sipil lainnya menggemparkan dunia maya. Trending pembicaraan ini mulai memberikan angka yang meningkat pada Minggu (23/9) dini hari. Berkat adanya fitur saling membuatkan di media sosial, gerakan #GejayanMemanggil menjadi the first trending in social media.

Tak hanya itu, gerakan #GejayanMemanggil juga telah disorot oleh banyak pihak alasannya undangan agresi turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi di ruang publik secara terbuka digelar Senin (23/9) oleh ratusan mahasiswa, pelajar, dam kelompok masyarakat lainnya.

Dalam narasi kajiannya, gerakan #GejayanMemanggil ini terinspirasi dari gerakan-gerakan yang dilakukan untuk meruntuhkan rezim kemiliteran Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Landasan usaha dalam membuka gerbang reformasi dikala itu ditandai dengan banyak sekali problem bangsa, terutama dalam hal kemanusiaan dan ketidakadilan, yang terdiri dari tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan, ketidakpastian hukum, penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga, serta tingginya tingkat pengangguran. Melalui deretan problem inilah, setidaknya ada enam tuntutan agenda reformasi pada 21 tahun silam. Yakni 1) adili Soeharto dan kroninya; 2) amandemen Undang-Undang Dasar 1945; 3) peniadaan dwi fungsi ABRI; 4) hapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); 5) pelaksanaan otonomi tempat seluas-luasnya; dan 6) supremasi hukum.

Memori usaha dalam meruntuhkan rezim Orde Baru tersebut menggugah pikiran dan nurani untuk melaksanakan refleksi bersama atas banyak sekali problem kebangsaan selama ini. Terutama, peristiwa-peristiwa politik menyerupai upaya pelemahan KPK secara terstruktur yang mengerucut pada kejanggalan pemilihan pimpinan dan pengakuan RUU KPK yang baru. Selain itu gosip supremasi aturan menyerupai disahkannya pasal-pasal karet wacana makar dan kehormatan presiden yang mengebiri demokrasi, serta beberapa pasal yang mengatur ranah privat masyarakat dalam rencana pengakuan RKUHP oleh DPR.

Ditambah lagi, hadirnya Undang-Undang Pertahanan dan UU Ketenagakerjaan yang terkesan mendadak seolah terkesan menjadi formalitas sesaat para anggota dewan perwakilan rakyat dalam melaksanakan kiprah legislasi. Tentu bukan tanpa masalah, hadirnya UU tersebut justru dianggap sebagai gaya penjajahan terbaru kepada rakyat dengan wajah yang lain. Selain itu, isu-isu ekologi menyerupai kebakaran hutan dan tambang, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga menjadi kajian yang tidak kalah urgen.

Memori Perjuangan

Dalam sejarah pergerakan mahasiswa, Gejayan yakni memori usaha penggerak mahasiswa yang berada di wilayah Yogyakarta dan berasal dari banyak sekali kampus di tempat itu. Memori usaha Gejayan merupakan insiden sejarah yang berdarah. Bermula dari agresi tenang yang digelar pada 8 Mei 1998 oleh mahasiswa di beberapa kampus, menyerupai di Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTN) Yogyakarta, Universitas Nasrani Duta Wacana Yogyakarta. Kemudian, tidak kurang dari 5000 mahasiswa UGM melaksanakan aksinya di bundaran Kampus UGM. Mereka memberikan keprihatinan atas kondisi perekonomian yang dilanda krisis moneter pada dikala itu, melaksanakan protes atas harga-harga materi pokok yang melambung tinggi serta menuntut dilakukannya reformasi.

Aksi demi agresi juga dilakukan di Kampus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Kampus IKIP Yogyakarta yang tempatnya berseberangan. Para pengunjuk rasa melaksanakan protes terhadap perilaku represif dari abdnegara yang terjadi pada 5 Mei 1998. Pada dikala menjelang sore mereka ingin bergegas menuju UGM, dengan maksud bergabung dengan kelompok demonstran lainnya. Namun impian mereka terhalang oleh pihak abdnegara keamanan dengan dalih keamanan. Hingga akhirnya, bentrokan pun tidak sanggup dihindarkan. Konfrontasi antara para mahasiswa dengan abdnegara keamanan berlangsung sekitar pukul 17.00. Pembubaran paksa dilakukan dengan penyerbuan dan menyemprotkan gas air mata terhadap para demonstran.

Bergabungnya kelompok masyarakat sipil ke dalam barisan demonstran para mahasiswa menjadi kekuatan komplemen untuk mengimbangi perilaku represif aparat. Para demonstran membalas serbuan dan semprotan gas air mata dengan lemparan batu. Aparat melaksanakan tindakan represif dengan memukul setiap orang yang berada di tempat tersebut, termasuk para pedagang kaki lima. Aksi pengejaran pihak abdnegara terhadap para mahasiswa juga terjadi hingga memasuki kompleks Kampus Santa Dharma dan UNY. Ketegangan ini berlangsung hingga malam hari. Bahkan sekitar pukul 22.00 kondisi semakin mencekam.

Letupan bunyi tembakan secara bertubi-tubi menyebabkan wilayah sekitar menjadi mencekam. Bahkan hingga dini hari, abdnegara keamanan berupaya untuk terus menerus melaksanakan pembubaran paksa dengan menembakkan water canon hingga hasilnya para demonstran berupaya untuk memperabukan sebuah kendaraan yang menyemprotkan water canon tersebut. Namun upaya itu gagal. Api hanya menyala beberapa saat, kemudian berhasil dipadamkan.

Memori huru-hara agresi massa Gejayan 1998 semakin besar lengan berkuasa dalam ingatan dikala seorang mahasiswa Fakultas Matematika dan IPA Universitas Sanata Dharma yang berjulukan Moses Gatotkaca gugur pada Jumat 8 Mei 1998. Ia ditemukan dalam keadaan sekarat oleh beberapa relawan Posko PMI Universitas Santa Dharma sesudah abdnegara melaksanakan penyusuran di wilayah bentrokan sekitar Hotel Radisson. Sebagaimana Yun Hap yang terbunuh dalam insiden Tragedi Semanggi II, demikian juga empat rekan lainnya dalam bencana Universitas Trisakti, yaitu Elang Mulya Lesmana, Hendrawan Sie, Heri Hertanto, dan Hafidin Royan. Mereka tertembak di dalam kampus dengan peluru-peluru tajam bersarang di objek-objek vital badan menyerupai leher, dada, dan kepala.

Mendongkrak Opini

Setiap agresi gerakan massa tentu selalu mendongkrak opini yang tidak tunggal. Setiap orang mempunyai subyektivitas dan kecenderungan-kecenderungan tertentu dalam merespons setiap peristiwa. Tergantung pada kemampuannya dalam menafsirkan realitas, dan tumpuan sosial politik yang dimiliki. Ada yang beranggapan bahwa agresi #GejayanMemanggil diinfiltrasi oleh kepentingan pihak oposisi politik Istana, ada pula yang mengaitkannya dengan upaya kelompok tertentu yang disinyalir anti-Pancasila, radikal, yang menentang NKRI dengan berupaya menitipkan gosip khilafah pada agresi tenang tersebut.

Terlepas dari semua itu, jikalau memperhatikan analisis percakapan media umum Drone Emprit memberikan bahwa #GejayanMemanggil menjadi tren percakapan di media sosial, bahkan semakin meningkat volumenya setiap waktu. Walaupun sempat bersaing dengan tagar "MahasiswaBergerak", namun teladan percakapan, konstruk narasi-narasi yang di-posting tidak jauh berbeda dengan #MahasiswaBergerak, bahkan akan cenderung melambung beriringan dengan agresi massa yang berlangsung pada Senin (23/9).

Dari hasil analisis percakapan media umum Drone Emprit memberikan bahwa gerakan #GejayanMemanggil menampilkan satu cluster. Bahkan yang menarik bahwa akun-akun yang memviralkan tagar ini justru bukan akun yang selama ini menjadi polarisasi dalam kontestasi politik, yaitu akun pro dan akun kontra politik. Dalam peta media umum dikala ini, gerakan tagar "GejayanMemanggil" dimotori oleh energi baru.

Dalam postingan-postingan akun Twitter Ismail Fahmi yang merupakan founder dari Drone Emprit diungkapkan bahwa akun-akun yang menggelorakan dan menjadi penggerak tagar "GejayanaMemanggil" merupakan akun-akun buku yang merupakan top influencer menyerupai @JDAgraria, @panjipnjk @EA_Books, @MahasiswaYUJIEM, @obedkresna. Ismail Fahmi melanjutkan dalam postingannya bahwa meski aksinya terjadi di Yogyakarta, namun percakapan gerakan ini meluas secara nasional. Bahkan berdasarkan Peta Drone Emprit, percakapan gerakan ini diperbincangkan dari Aceh hingga Papua. Sedangkan sisi motor gerakannya berada di tempat Yogyakarta, Sleman, Jakarta, Surabaya, dan Bandung

Selain itu, jikalau diperhatikan secara saksama, narasi-narasi kajian hingga tuntutan yang digaungkan dalam agresi tenang #GejayanMemanggil tidak ada satu pun yang menyerempet pada narasi politik oposisi ataupun narasi khilafah. Sebagaimana disinggung di awal, isu-isu yang digelorakan yakni isu-isu wacana keadilan, kemanusiaan, dan gosip ekologi. Jika membaca butir per-butir pernyataan perilaku pada press release Aliansi Bergerak yang juga merupakan penggerak agresi #GejayanMemanggil, setidaknya ada tujuh poin yang mereka nyatakan.

Poin-poin tersebut yakni 1) mendesak adanya penundaan untuk melaksanakan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP; 2) mendesak pemerintah dan dewan perwakilan rakyat untuk merevisi UU KPK yang gres saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia; 3) menuntut negara untuk mengusut dan mengadili elite-elite yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia; 4) menolak pasal-pasal bermasalah yang tidak berpihak pada pekerja; 5) menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertahanan yang merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reforma agraria; 6) mendesak pengakuan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual; 7) mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan penggerak di banyak sekali sektor.

Mengaktifkan Kesadaran

Gerakan #GejayanMemanggil ataupun #MahasiswaBergerak mengaktifkan kesadaran nalar kolektif untuk bisa semampu mungkin melaksanakan pembacaan-pembacaan realitas sosial-politik dan aspek-aspek kebangsaan lainnya, yang ditindaklanjuti dengan melaksanakan kajian-kajian akademis. Hal ini sanggup mengaktifkan kembali tradisi mimbar akademik, diskusi publik, dan acara literasi lainnya yang di beberapa kampus yang barangkali sudah luntur. Selain alasannya pergeseran budaya kritis kaum pelajar yang cenderung mengalami degradasi, keadaan kampus yang cenderung oligarki dan feodal serta kuatnya efek senioritas di masing-masing kampus turut membentuk teladan pikir dan gerakan kaum terpelajar.

Tidak sedikit kaum cendekia yang mempunyai api semangat membara, namun dengan kekuatan literasi yang minim, membuatnya gampang menjadi penggerak kutu loncat. Terkadang di satu sisi mempunyai semangat nalar kebangsaan yang kuat, namun juga terkadang terjebak pada perspektif tunggal wacana suatu hal berdasarkan kelompok tertentu dan fanatisme tokoh figur. Seakan kebenaran hanya ada pada figur dan kelompok yang disenanginya, hasilnya terbawa pada paham yang eksklusif, terlebih fanatisme itu pada identitas keagamaan.

Aktifnya tradisi literasi, gerakan cendekia akan bisa mempertahankan konsistensi gerakannya dengan tidak gampang terjebak pada infiltrasi penumpang gelap yang hendak mencederai idealisme gerakan atau bahkan mencelupkan pada polarisasi politik yang selama ini ada. Secara personal, dengan kuatnya literasi menciptakan orang menjadi selektif untuk memilah dan menentukan wacana-wacana gerakan yang berkembang dikala ini. Dengan kuatnya literasi, bisa membedakan mana mitra mana lawan; mana gosip strategis dan mana gosip politis; mana gosip privat dan kolektif; mana gosip yang menggiring pada fanatisme aliran, mana gosip yang inklusif. Kekuatan literasi juga bisa menjadi penguat gerakan untuk tidak gampang goyah dan pecah dengan tawaran-tawaran gerakan lain yang mengkamuflase.

Bahkan dengan kuatnya tradisi literasi justru bisa menjadi balasan atas perilaku skeptis dan rendahnya kepercayaan publik pada gerakan-gerakan masa selama ini, alasannya dianggap telah hilang dari inti usaha dan telah banyak disalahgunakan, sehingga muncul gerakan-gerakan masa bayaran, pasukan nasi bungkus, dan lain sebagainya. Ada pula gerakan massa yang mempunyai tujuan mulia, namun terjebak pada afiliasi politik tertentu sehingga dengan gampang dimanfaatkan untuk kemenangan politik tertentu, bahkan terkonversi menjadi organisasi sayap gerakan politik. Jika sudah terjebak dan terjerembab pada lingkaran polarisasi politik menyerupai itu, maka isu-isu keadilan, kemanusiaan, lingkungan, dan sebagainya menjadi karam tidak ada yang memperjuangkan bahkan hanya menjadi komoditas politik dikala melaksanakan marketing politik.

Habib Iman Nurdin Sholeh mahasiswa Pascasarjana UIN SGD Bandung


Tulisan ini yakni kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com


EmoticonEmoticon