
Jakarta -Relasi antara agama dan insan merupakan sebentuk ikatan yang bisa melahirkan tatanan nilai yang inklusif. Agama yang hadir membawa pesan moral akan senantiasa mengawal gerak laju insan dalam menjalani kehidupan sosialnya. Kebebasan berkehendak yang dianugerahkan sepaket tatkala insan lahir merupakan pola interaksi sosial keagamaan. Sebab, agama melalui banyak sekali media ajarannya berjanji membimbing kehendak tersebut semoga tidak keluar dari garis-garis besar kemaslahatan.
Keyakinan beragama yang diejawantahkan dalam praktik keagamaan merupakan seperangkat nilai yang disarikan dari prinsip hierarki keimanan dan keislaman. Relasi ganda kedua konsep tersebut dengan insan mengindahkan pencapaian korelasi yang paripurna: vertikal dan horizontal. Puasa sebagai salah satu prinsip dalam hierarki keislaman ialah sebuah fase yang menyimpan banyak sekali nilai dalam segenap acara ritual peribadatan. Berbeda dengan keempat prinsip keislaman yang lainnya, puasa ialah model peribadatan yang dilakukan secara serentak dalam bulan Ramadhan.
Pemahaman keagamaan merupakan sebentuk laris kesadaran insan dalam beragama. Cara insan memahami agama senantiasa akan mengalami kendala jikalau ia tidak bisa menangkap pesan-pesan Tuhan yang tersirat dalam setiap sendi pedoman agama. Ramadhan sedari eksistensi awalnya telah diyakini sebagai one piece in one year yang penuh dengan keberkahan. Keberkahan Ramadhan tentu tidak hanya dipahami sebatas menumpuk pahala-pahala ritual peribadatan, namun juga harus bisa memupuk kepekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Perintah berpuasa yang hadir pada tahun kedua Hijriah merupakan sebuah tragedi yang mempunyai aspek-aspek historis-sosiologis. Ia tidak semata-mata hadir dengan wajah yang benar-benar baru. Sebab acara ritual peribadatan ini sejatinya memang sudah disyariatkan kepada umat-umat sebelum risalah muhammadiyah diturunkan. Oleh lantaran itu, proses penetapan hukumnya pun tidak bersifat gradual, alasannya ialah ia sudah dikenal, melainkan secara impulsif sebagai respons atas sebuah keadaan. Hal inilah yang melatarbelakangi umat Islam untuk memenuhi janjinya sebagai insan yang beriman.
Kesadaran yang berlandaskan keyakinan tersebut merupakan sebentuk prinsip mutual agreement antara insan dengan Tuhannya. Berdasarkan prinsip mutual agreement tersebut lahirlah apa yang disebut dengan hak dan kewajiban dalam setiap ritual peribadatan semasa Ramadhan. Manusia beriman mempunyai kewajiban untuk melakukan ibadah puasa, sehingga mereka berhak untuk mendapat nilainya. Kesadaran berhukum ini membentuk pola pikir insan pada tataran yang paling praktis.
Hal ini bukanlah kasus yang absurd, alasannya ialah ia hadir sebagai hasil dari dialektika antara hak dan kewajiban yang kemudian memantik kesadaran yang paling orisinal, yakni kesadaran individual. Kesadaran individual yang didasari oleh keyakinan dalam diri insan yang beriman merupakan kunci utama untuk memasuki gerbang cakrawala yang lebih terbuka. Jika seorang insan beriman telah bisa memotivasi dirinya untuk senantiasa berperilaku dan bertingkah laris baik, maka ia akan bisa untuk memahami bahwa Ramadhan tidak hanya berbicara ihwal aturan dan kewajiban semata, melainkan juga ihwal rasa dan etika.
Rasa ialah potongan yang tak terpisahkan dari ritual peribadatan dalam bulan Ramadhan. Manusia diajarkan untuk lebih mengerti arti ihwal tenggang rasa dan simpati dalam setiap lingkungan sosial. Pada titik inilah terjadi transformasi nilai dari kesadaran individual menuju kesadaran komunal. Rasa tenggang rasa dan simpati antarsesama insan yang diajarkan oleh Ramadhan kemudian berproses menjadi sebuah refleksi etis.
Secara serentak insan berkonsensus bahwa sikap amoral merupakan tindakan yang cacat nilai. Proses pengadilannya pun diputuskan menurut keadilan sosial. Pada titik inilah, Ramadhan menjadi kontrol moral dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sebab jikalau insan gagal memahami pesan moral yang dibawa Ramadhan, maka laris kesalehan individual yang tidak terafiliasi dengan baik dalam kesadaran komunal ialah harga mahal yang harus dibayar.
Nilai-nilai keagaman merupakan mutiara kemuliaan yang dibudidayakan dari segenap acara ketaatan insan kepada Tuhan. Memang benar insan ialah makhluk yang tepat jikalau dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan yang lainnya. Namun insan yang tepat ialah insan yang bertakwa kepada Tuhannya. Dari sinilah kualitas keagamaan insan lahir, kemudian tumbuh dan berkembang dalam bingkai-bingkai ketakwaan.
Manusia yang bisa menyelami samudera makna dalam setiap embus napas agama secara otomatis akan menjadi langsung yang penuh dengan akal pekerti. Sebab, insan bertakwa yang paling tepat imannya ialah yang paling baik etikanya. Hubungan antara takwa dan sopan santun tidak akan pernah ter-makzul-kan. Keduanya bisa dibedakan, namun tidak sanggup dipisahkan. Karena keimanan dan ketakwaan seorang insan merupakan cermin moral dalam laris kehidupan sosial keagamaannya.
Itu sebabnya, sopan santun menjadi target wahyu risalah kenabian. Maka menjadi sangat logis jikalau Ramadhan mengakibatkan ketakwaan sebagai sopan santun paripurna insan beragama.
Hijrian A. Prihantoro pegiat literasi syariat dan filsafat, pelopor Keluarga Mahasiswa Pascasarjana (KMP) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta potongan Riset dan Publikasi Ilmiah
Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon