
Ong Hok Ham sohor sebagai sejarawan dan kolumnis yang produktif pada masanya. Karya utama sejarawan berkepala pelontos ini yang ditunggu-tunggu pembaca ialah disertasi perihal sejarah sosial Madiun periode kolonial. Sekarang, publik bernapas lega karena karya tersebut alhasil terbit jua selepas mengalami tidur panjang selama empat dekade lebih!
Kehadiran pustaka Madiun dalam Kemelut Sejarah tersebut penting di panggung literasi Indonesia. Buku yang digarap di Universitas Yale (1975) ini punya makna mendalam bagi kita tatkala menggumuli dan menafsirkan riwayat perjalanan bangsa. Seperti yang disinggung Peter Carey dalam Prolog bahwa disertasi Ong dibutuhkan bisa membebaskan orang Madiun dari "trauma" yang mereka alami gara-gara pemberontakan PKI pada September 1948 yang dipimpin Musso (1897-1948). "Nahkoda" kraman alias kerusuhan itu bukan warga Madiun, melainkan lahir di Pagu, Kediri. Celakanya, masyarakat luas kadung memahami seolah sejarah Madiun terpatri hanya pada kejadian tersebut dan tidak punya before dan after. Buahnya, warga Madiun dicap sebagai "komunis abadi".
Ong mengemukakan, pajak merupakan salah satu sumber perkara. Ada puluhan jenis pajak yang diterapkan sehingga mencekik leher masyarakat, terutama kelas wong cilik. Selain pajak tanah yang harus dibayar pengelola, warga (buruh) juga wajib kerja bakti untuk kerajaan atau perangkat lain di atas desa ibarat kawedanan dan bupati. Selain arsip kolonial, Ong memanfaatkan pula data lokal berupa Babad Patjitan untuk menandakan kejadian yang terjadi di Madiun lampau. Dijelaskan, persekutuan elite lokal ingin membunuh Belanda yang dianggap bersalah atas tingginya pajak tanah. Mereka mengaku tiba dari Yogyakarta, Kertosono, dan Banyuwangi guna membebaskan rakyat di Ponorogo yang menderita karena pajak kolonial.
Kala itu, orang kecil bahkan tidak bisa menggunakan celana karena uangnya digunakan untuk membayar pajak. Kepada polisi Rejosari, barisan "pemberontak" ini koar-koar hanya butuh waktu tiga hari berperang di Ponorogo dan merebut kekuasaan kolonial demi membebaskan penduduk dari pajak. Di belahan dunia mana pun, orang yang membayar pajak yakni orang yang berpenghasilan dan berpunya. Namun, Belanda memukul rata. Pemerintah kolonial emoh menganggap tingginya pajak sebagai biang keladi. Justru menafsirkan rasa frustrasi warga dan impian kejayaan (datangnya Ratu Adil) sebagai penyebab pemberontakan.
Ong cermat menyigi pemerintah Hindia Belanda tidak berkuasa secara langsung. Mereka menjalankan kekuasaan melalui bupati dengan memanfaatkan jaringan abdnegara dan makelar kekuasaan tidak resmi ibarat kepala desa, jago, palang, weri, dan sebagainya. Bupati yakni kepala institusi sosial dan birokrasi di dalam masyarakat Jawa. Selama masa Tanam Paksa, bersama para residen Belanda, mereka yakni manajer puncak produksi perkebunan. Belanda menjalin kontak tingkat pertama dengan masyarakat Jawa lewat bupati. Dari bupati lantas diturunkan titah menjaga keamanan dan ketertiban hingga melibatkan priayi tingkat bawah. Fenomena tersebut sejatinya menggambarkan despotisme oriental. Kendati demikian, Ong mendobrak kesadaran pembaca untuk jujur mengakui bahwa inspirasi wacana despotisme Jawa berasal dari monarki Mataram. Pemerintah Walanda merupakan ekspresi yang lebih despotik ketimbang monarki Jawa yang lebih lunak.
Ibarat seorang detektif, Ong dengan sabar mengumpulkan serpihan fakta yang bersekam dalam arsip guna memotret kejahatan keluarga bupati. Namanya bupati Sumoroto, pernah kesandung kasus pembunuhan hingga dipecat dari jabatannya. Istri penghulu Ponorogo berjulukan Jeminah menjalin asmara dengan bupati yang juga menantu wedana bupati Madiun tersebut. Semula, agresi penghilangan nyawa perempuan itu berjalan mulus dan rapi karena melibatkan keluarga dan jaringan penegak aturan yang dijanjikan promosi jabatan serta disogok. Kasus ini terungkap jua karena faktor rivalitas di antara elite bupati Sumoroto dan Ponorogo. Semua pihak yang tersangkut duduk kasus ini dipecat dan diasingkan di ibu kota Karesidenan Madiun (hlm 118).
Jabatan bupati memang lahan "basah", maka sering diperebutkan. Sekalipun tidak punya tanah secara eksklusif atau bukan tuan tanah, tetapi mereka mengambil upeti dari petani dalam bentuk hasil produksi. Sayangnya, para bupati Madiun bukanlah pengelola keuangan yang baik. Laporan umumnya tertulis ibarat ini: "para bupati dan pemimpin wilayah di Madiun tidak baik kondisi keuangannya. Kenaikan honor bahkan tidak banyak memberi kemajuan, karena mereka gagal mengelola, abai, tak paham duduk kasus keuangan, terlalu banyak kerabat yang miskin dan pengikut yang tidak produktif." Pentolan elite kekuasaan ini suka hutang pada orang Tionghoa demi menuruti gaya hidup dan gengsi sosial.
Menyimak pustaka ini tidak melulu kasus pengetahuan ilmiah, namun juga kehidupan unik Ong dan belum banyak diketahui publik sebagaimana dituliskan David Reeva dalam Epilog. Sepulang dari Yale, Ong mengawali menelurkan artikel terkenal di media massa dan jurnal Prisma. Ia terkaget mendapati aneka tulisannya bisa mendongkrak namanya secara nasional-international, malah menjadi selebritas. Rupanya status selebritas itu menjadi satu alasan mengapa ia emoh membukukan disertasinya, meski dirinya pernah "bersemedi" selama setahun di Institute of Southeast Asia Studies (ISEAS) Singapura pada 1978-1979 khusus untuk tujuan penerbitan itu. Ketimbang melakoni kiprah tersebut, Ong justru menghabiskan waktunya untuk makan dan minum, dua elemen utama dalam hidupnya. Kini, Ong Hok Ham telah menghidangkan buku apik ini kepada kita untuk materi refleksi sejarah, sekaligus melabrak: Madiun bukan hanya kasus "1948"!
Heri Priyatmoko dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, founder Solo Societeit
Tulisan ini yakni kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon