Thursday, April 11, 2019

Justice For Audrey Dan Perundungan Anak

Justice for Audrey dan Perundungan AnakSimpati

Jakarta -Kasus perundungan yang tak habis-habis di dunia sekolah kita menjadikan keprihatinan yang semakin membuncah. Dua juta warganet pun meradang melalui tagar "JusticeForAudrey" yang sempat menjadi trending topic nomor 1 dunia pada Selasa (9/4). Ada pula petisi bertagar sama yang diteken lebih dari 2,4 juta kali sebagaimana telah diberitakan oleh detikcom.

Dunia pendidikan kita sekali lagi dirundung malang. Kasus Audrey hanyalah satu dari tak terhitung kasus perundungan di sekolah. Beberapa waktu yang kemudian juga terjadi insiden seorang siswi Sekolah Menengan Atas di Mojokerto mengalami kelumpuhan sehabis menerima eksekusi scot jam oleh seniornya. Seolah belum kering ekspresi bercerita wacana kisah tersebut segera disusul dengan insiden berikutnya yaitu perkelahianantarteman sebaya anak SD di Garut hingga meninggal,pemicunya hanya gara-gara problem terkait buku pelajaran.

Di tengah upaya pembenahan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, banyak sekali insiden yang terjadi perundungan tersebut yaitu citra peristiwa sosial yang sangat ironi dan memilukan.

Presiden Joko Widodo merespons kasus perundungan terhadap Audrey, siswi Sekolah Menengah Pertama Pontianak, Kalimantan Barat tersebut. Presiden menduga ada problem dalam interaksi sosial di medsos. Ada hal-hal yang berubah di masa kini. Semua harus disikapi bersama. Tetapi ada aspek yang lebih penting dari yang disampaikan oleh Presiden tersebut, yaitu kehadiran tugas keluarga dan sekolah; ke mana kedua institusi itu dalam kasus Audrey?

Kedua institusi tersebut menjadi krusial alasannya yaitu potensial untuk memicu permasalahan sikap perundungan dan potensial menjadikan korban menyerupai yang dialami Audrey dan yang lain menyerupai kasus anak Sekolah Menengan Atas yang mengalami kelumpuhan di Mojokerto dan anak SD yang tewas di Garut beberapa waktu lalu.

Peristiwa perundungan di sekolah bersama-sama menyerupai fenomena gunung es yang hanya muncul sebagian kecil saja ke permukaan. Telah banyak pelaku maupun korban pada insiden lainnya yang tidak diketahui oleh publik.

Dari mana sikap untuk menyakiti sahabat secara fisik maupun psikis ini didapat oleh anak anak sekolah tersebut? Situasi sosial menyerupai apa yang telah membuat belum dewasa sekolah tersebut mempunyai keberanian untuk menyiksa sesama murid? Inilah pertanyaan inti dari kasus yang dialami oleh Audrey.

Sebenarnya kalau kita memahami insiden kekerasan ini dalam konteks dunia anak dan dunia pendidikan yang penerima didiknya masih tergolong usia anak, yang dalam konteks Undang Undang Perlindungan Anak yaitu usia di bawah 18 tahun, tidak ada istilah pelaku bagi anak-anak; mereka semuanya yaitu korban. Lalu, siapa pelakunya kalau demikian?

Dari pertanyaan tersebut kita bisa membaca insiden perundungan ini dari sisi kewajiban orang cendekia balig cukup akal terhadap proses pelaksanaan pendidikan bagi belum dewasa di forum pendidikan menyerupai sekolah, dan tugas keluarga dalam mengasuh anak.

Orang-orang cendekia balig cukup akal di sekolah atau di rumah wajib mengawasi dan memantau setiap acara yang dilakukan oleh belum dewasa yang juga sebagai siswa tersebut, baik pengawasan dalam proses pembelajaran maupun dalam proses interaksi sosial di antara para siswa itu. Kita patut menduga bahwa dalam insiden perundungan yang dialami oleh siswa di sekolah ini kehadiran orang cendekia balig cukup akal menyerupai lumpuh tidak terlihat jejaknya.

Mengambil Peran Lebih Jelas

Kita jadi bertanya, bersama-sama pada situasi kekerasan atau perundungan yang dialami oleh anak anak, di mana kehadiran orangtua dan guru di sekolah selama ini?

Orangtua dan guru yaitu dua entitas sosial yang keduanya tidak sanggup dipisahkan dalam konteks pendidikan anak di sekolah, alasannya yaitu kewajiban orangtua sebagai pengasuh utama anak tetap melekat, meskipun belum dewasa sedang berada di sekolah, sementara kewajiban guru sebagai pendidik dan pengasuh pengganti orangtua di sekolah juga tetap menempel selama belum dewasa tersebut berada di sekolah. Mengapa masih terjadi kelumpuhan pengawasan terhadap belum dewasa ini?

Kita bisa mendeteksinya setidaknya dalam dua aspek, yaitu tanggung jawab dan kelekatan.

Tanggung jawab orangtua dan pendidik terlihat masih lemah, di mana belum dewasa menyerupai terlepas dari pengawasan orang cendekia balig cukup akal dan mereka membuat dunia sendiri dalam sebuah situasi kekerasan yang tidak terkendali. Sementara kelekatan dengan sosok pengasuh yang menjadi salah satu modal utama pengendalian sikap anak terlihat memudar. Sosok lekat menyerupai orangtua telah kehilangan tugas dan fungsinya alasannya yaitu belum dewasa tidak lagi mau mendengar pesan yang tersirat atau menjaga sikap.

Pemerintah harus mengambil tugas lebih terang dalam insiden peristiwa menyerupai ini, tidak cukup dengan belasungkawa atau imbauan-imbauan lisan. Pemerintah sebaiknya turun tangan dengan membawa SOP atau hukum yang tegas disertai perangkat pengawasan yang sanggup memastikan hukum tersebut sanggup berhasil melindungi belum dewasa di sekolah dan mencegah perundungan kembali terjadi.

Sekolah yaitu tempat terpenting kedua bagi belum dewasa sehabis keluarga. Mereka menghabiskan waktu hampir satu hari penuh dari pagi hingga menjelang petang di sekolah. Karena itu sudah seharusnya kita lebih fokus untuk berbenah. Masing-masing kembali kepada fitrah sebagai orangtua yang harus melindungi anak, dan fitrah guru sebagai pendidik dan pemberi rujukan pada situasi belum dewasa selama dalam proses pembelajaran di sekolah.

Pembenahan ini bisa dilakukan melalui pembentukan aturan-aturan yang ramah anak di sekolah, serta tugas pemerintah sentra dan kawasan yang lebih terang dalam upaya sumbangan anak di sekolah. Misalnya dengan membentuk SOP pengasuhan anak di sekolah atau peraturan apapun yang dipastikan sanggup memberi keamanan bagi belum dewasa para penerus bangsa pada dikala mereka berada di sekolah.

Semoga saja insiden tragis menyerupai yang dialami Audrey tidak terjadi lagi pada belum dewasa kita di sekolah, dan semoga para pihak yang bertanggung jawab bisa mengambil pembelajaran yang berharga.

Asep Jahidin dosen Kesejahteraan Sosial UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)