
Jakarta -
Seperti tahun lalu, penerapan sistem zonasi dalam rangka penerimaan peserta didik gres (PPDB) pada tahun ini juga memantik kontroversi. Pemerintah Propinsi Jawa Tengah mengritik keras kebijakan zonasi yang dipandang tidak berpihak pada peserta didik yang berprestasi. Sementara Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Timur bermaksud memodifikasi penerapan zonasi di wilayahnya masing-masing. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta bermaksud mengalokasikan kuota non zonasi sebesar 30 persen. Sedangkan Jawa Timur mengalokasikan kuota 20% untuk jalur prestasi. Menteri Pendidikan sendiri menolak aneka macam modifikasi ini dan memerintahkan biar kembali ke konsep awal menurut Permendikbud Nomor 17 tahun 2017.
Perdebatan ini mengulangi duduk kasus yang sama yang sempat muncul pada PPDB tahun lalu. Salah satunya ialah duduk kasus kecilnya kuota untuk peserta didik yang mempunyai prestasi akademik di sekolah sebelumnya. Melalui sistem zonasi, "anak-anak pintar" ini dikhawatirkan tidak bisa bersekolah di sekolah yang diinginkan, yaitu sekolah yang selama ini dipersepsikan sebagai sekolah unggul dan berkualitas. Sebelum masa zonasi, sekolah-sekolah ini melaksanakan seleksi yang ketat terhadap calon peserta didik dengan standar nilai yang cukup tinggi. Meskipun seringkali ada juga peserta didik titipan dari aneka macam pihak biar bisa bersekolah di sekolah bonafid itu.
Adanya persepsi perihal peserta didik berprestasi-tidak berprestasi serta sekolah unggul-tidak unggul inilah yang sejatinya menjadi akar duduk kasus yang menjadikan kebijakan zonasi menjadi kontroversi. Munculnya persepsi ini disebabkan adanya kategorisasi peserta didik menjadi anak terpelajar dan tidak pintar. Ukuran kategorisasinya ialah nilai akademik menurut jumlah dan rata-rata nilai rapor. Kategorisasi ini melahirkan stereotip bahwa peserta didik yang nilainya tinggi disebut dengan anak terpelajar dan layak bersekolah di sekolah unggul, peserta didik yang nilainya rendah dianggap sebagai anak ndeso yang hanya layak bersekolah di sekolah pinggiran.
Kenyataannya para pelaku pendidikan tidak bisa lepas dari stereotipisasi ini. Meskipun di rapor sudah tidak ada ranking kelas, guru tetap melaksanakan pemetaan prestasi. Anehnya banyak guru yang menciptakan ranking sendiri walaupun bergotong-royong ranking tidak diharapkan dalam sistem KBK. Alasan klasik yang bergotong-royong bisa dibantah ialah lantaran orangtua menanyakan ranking kelas yang diraih oleh anaknya. Atas pertanyaan ini seharusnya guru bisa mengedukasi masyarakat perihal sistem pendidikan yang diinginkan kurikulum, bukan sebaliknya melayani kebutuhan masyarakat yang sudah terpapar stereotipisasi.
Sudah saatnya stereotipisasi prestasi ini dihentikan. Memang tidak gampang lantaran stereotipisasi ini sudah berlangsung usang dan mengurat mengakar dalam sistem sosial pendidikan. Tapi kalau tidak dilakukan maka kebijakan-kebijakan pendidikan yang progresif bisa berbenturan dengan tembok tebal stereotipisasi ini. Kebijakan zonasi misalnya. Kebijakan yang secara filosofis ingin memperlihatkan pelayanan kualitas pendidikan yang merata dan berkeadilan bagi masyarakat tanpa ada kelas-kelas sosial yang diskriminatif, harus berhadapan dengan kegalauan tidak tertampungnya "anak-anak pintar" di "sekolah unggul".
Jika dilihat dari tuntutan standar evaluasi pendidikan dalam kurikulum, bergotong-royong penilaian-penilaian dalam bentuk assessment of learning yang menjadi sumber strereotipisasi, menyerupai evaluasi harian, tengah semester, simpulan semester, dan simpulan tahun bukan prioritas evaluasi yang utama. Dalam Permendikbud Nomor 23 tahun 2016 disebutkan bahwa paradigma evaluasi seharusnya bergeser dari assessment of learning menuju assessment as learning. Dalam assessment as learning peserta didik sanggup menilai kemampuan dan potensi dirinya tanpa harus membanding-bandingkan dengan kemampuan teman-temannya.
Hanya saja pada wilayah implementatif, penerapan pendekatan evaluasi assessment as learning sulit direalisasikan. Lagi-lagi masalahnya ialah kualitas SDM guru dan administrasi sekolah. Mereka terjebak dalam stereotipisasi prestasi, enggan keluar atau bahkan menikmati jebakan itu untuk kepentingan lain yang bisa jadi bersifat politis-materialistis. Lebih konyol lagi, keengganan keluar dari stereotipisasi ini dikarenakan guru atau sekolah bisa "memaksa" peserta didik biar berguru lebih rajin. Ini ialah alasan klise yang bergotong-royong memperlihatkan ketidakmampuan dalam mengelola pendidikan dan mendesain aktivitas pembelajaran sehingga bukan kesadaran berguru yang dibangun melainkan pemaksaan berguru melalui evaluasi dan ujian.
Sudah benar perilaku tegas Mendikbud dalam menolak aneka macam modifikasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Sistem zonasi bisa menjadi salah satu cara untuk memutus stereotipisasi prestasi. Namun sistem ini saja tidak cukup untuk menghapuskan stereotipisasi ini secara penuh. Adapun yang lebih penting ialah melaksanakan kontrol dan kendali mutu pasca-zonasi, yaitu bagaimana biar kualitas pendidikan benar-benar bisa merata dan meningkat. Bukan sebaliknya, dikarenakan penerapan sistem zonasi guru dan administrasi sekolah justru kehilangan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Selain itu, yang perlu dicarikan formulanya ialah bagaimana biar penghargaan dan apresiasi kepada peserta didik tidak hanya diukur dari capaian nilai akademik. Sehingga yang diumumkan ke publik, diviralkan di media sosial, dan diberi keistimewaan masuk sekolah jenjang berikutnya tanpa tes, bukan hanya mereka yang menerima nilai tertinggi. Apresiasi juga perlu diberikan kepada prestasi-prestasi yang lain, baik dalam bentuk akademik, non akademik, maupun karakter. Jika formula ini berhasil ditemukan maka stereotipisasi prestasi akan mencair.
Pertanyaannya ialah apakah sehabis masa Menteri Muhadjir Efendi kebijakan zonasi ini akan tetap bertahan? Atau dilikuidasi menyerupai kejadian-kejadian sebelumnya ketika terjadi pergantian Mendikbud? Bagaimanapun bangsa ini memang harus mendapatkan kenyataan bahwa pendidikan bukan sekedar urusan pendidikan, banyak kepentingan yang ada di sana. Kalau sudah menyerupai ini, berapa usang lagi kita akan menikmati pendidikan yang berkualitas dan menghasilkan SDM yang bisa bersaing di tingkat global?
Bagus Mustakim Pengawas Sekolah dan Instruktur Nasional pada Direktorat PAI Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, sedang menempuh Program Doktor Studi Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon