
Jakarta -
Sudah usang koperasi dikenal sebagai solusi atas pemerataan kesejahteraan dan menjadi pencetus roda perekonomian nasional. Prinsip pengaturan ekonomi koperasi secara konstitusional dijadikan model tata kelola ekonomi nasional. Pengembangan sosial ekonomi sejati sangat bersahabat dan lekat dengan masyarakat, terkhusus lapisan menengah ke bawah. Gerakan kolektif ini hidup berlandaskan prinsip-prinsip sukarela, demokrasi, partisipasi ekonomi, otonomi dan independensi, pendidikan, kerja sama antar-koperasi, dan pengembangan komunitas yang berkelanjutan (OCDC, 2007).
Melalui aktivitas intermediasi keuangan, training dan pemberdayaan serta pengelolaan perjuangan yang berdiri atas dasar prakarsa masyarakat sendiri koperasi tumbuh berdampingan dengan duduk masalah sosial-ekonomi di tengah masyarakat.
Kondisi yang menekan kehidupan membuat koperasi hadir sebagai pengejawantahan energi kreatif masyarakat. Basis kekuatan aktivitas kelas menengah menjadi dasar penataan ekonomi dalam mengoptimalkan pengelolaan sumber daya untuk mewujudkan kesejahteraan. Secara statistik, tingkat kemiskinan nasional mengalami penurunan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin menurun dari 28,59 juta jiwa pada Maret 2015 menjadi 25,95 juta jiwa pada Maret 2018.
Paradoks Koperasi
Namun, prinsip utama koperasi untuk membuat pemerataan kesejahteraan berkeadilan dituntut turut bertanggung jawab atas lebarnya gap antara kelompok miskin dan kelompok kaya. Performa pemerataan di Indonesia semenjak September 2017 sampai September 2018 hanya turun sebesar 0,007 poin dari 0,391 menjadi 0,384. Terlebih, provinsi menyerupai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Jawa Barat mempunyai jumlah koperasi yang sangat banyak sekaligus gini rasio di atas rata-rata nasional. Menurut data BPS, pada 2016 secara berurutan jumlah koperasi di masing-masing provinsi tersebut yaitu 1.745 unit, 5.063 unit, 5.967 unit, 26.519 unit, dan 16.289 unit.
Kondisi itu memberi citra bahwa di tubuh koperasi sedang membutuhkan perhatian serius untuk mengembalikan marwahnya dalam perekonomian nasional. Revitalisasi sangat segera diharapkan semoga koperasi tidak semakin terpuruk. Sebab, eksistensi koperasi sedang menghadapi tantangan eksternal berupa perkembangan dan kemajuan teknologi yang sangat pesat. Tetapi, tantangan besar sangat kompleks berada di internal tubuh koperasi. Mulai dari duduk masalah disorientasi nilai-nilai dan tujuan, minim partisipasi anggota dalam pengembangan, rendahnya kualitas perencanaan, penegakan dan pengawasan sampai salah asuh.
Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pun telah merespons dengan upaya reformasi total koperasi yang mencakup tiga tahapan, yaitu reorientasi, rehabilitasi, dan pengembangan. Pemerintah mengklaim bahwa paradigma pemberdayaan koperasi dari kuantitas digeser menjadi kualitas mencakup aspek kelembagaan, usaha, dan keuangan. Keseriusan pemerintah tercermin pada pembubaran sekitar 50.000 koperasi yang dianggap tidak sehat.
Berkembang pesatnya pertumbuhan koperasi memang tidak terlepas dari kemudahan meningkatkan status kelompok masyarakat menjadi koperasi berbadan hukum. Pola umumnya mengumpulkan individu dengan kesamaan permasalahan dan visi tanpa kesiapan pengembangan yang berkesinambungan. Ketidaksiapan secara sumber daya insan (SDM), modal sosial maupun kemandirian ekonomi membuat koperasi gampang mengalami pergeseran orientasi dan tidak bisa bertahan menghadapi dinamika sosial-ekonomi.
Koperasi Mondragon di Spanyol atau Gujarat Cooperative Milk di India (sekarang Anand Milk Union Limited) menggambarkan bahwa gerakan koperasi bukanlah gerakan sporadik yang membuat iklim kompetisi antarkoperasi itu sendiri. Model yang diterapkan di Spanyol atau India jauh lebih efisien mengingat di Indonesia koperasi tumbuh subur sehingga potensi mengalami disorientasi lebih besar. Setelah mendirikan koperasi, hasrat untuk membesarkan dan meningkatkan aset lebih mendominasi perencanaan (orientasi bisnis) daripada pengembangan intermediasi sosial, pengembangan perjuangan anggota atau bentuk-bentuk pemberdayaan lainnya.
Pendidikan dan kesukarelaan merupakan ruh koperasi. Piketty (2014) dalam Ritzer dan Dean (2019) menjelaskan bahwa satu-satunya faktor yang paling penting ialah penyebaran pengetahuan semoga kelompok masyarakat miskin sanggup mempunyai tingkat pengetahuan teknologi, keterampilan dan pendidikan yang sama dengan kelompok kaya sehingga bisa mengejar ketertinggalan. Kapabilitas memilih dalam upaya anggota menolong diri sendiri dengan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan solidaritas.
Kegiatan mendidik demokrasi, pengelolaan ekonomi yang bertanggung jawab dan berkeadilan serta semangat berkorban demi kepentingan bersama ditumbuhkan dalam cara hidup berkoperasi.
Melembagakan Reformasi
Pemerintah memang harus melaksanakan penataan atau pembenahan di hulu perkoperasian semoga tidak berkhianat terhadap amanat Pasal 33 UUD 1945. Pengasuhan perlu dilakukan semenjak embrio sampai koperasi bisa tumbuh dan berkembang pada jalurnya. Kelompok masyarakat yang ingin mengajukan diri menjadi koperasi perlu dibimbing dengan tujuan tidak keluar dari jalur orientasi nilai-nilai hidup koperasi. Pendampingan ini lebih pada memastikan kesiapan tinggal landas koperasi mandiri, baik dari segi kapabilitas sumber daya insan maupun ketahanan dan kesinambungan.
Pemerintah akan lebih gampang dalam melaksanakan pendataan yang akurat terkait jumlah dan kondisi koperasi serta tindakan preventif dengan adanya pangkalan data awal. Kelompok masyarakat (embrio) yang mengajukan berdirinya koperasi wajib menjalani orientasi dengan kurikulum terpadu pengetahuan wacana koperasi dan pengelolaannya, penanaman nilai-nilai, prinsip-prinsip dan tujuan, serta penguatan kapabilitas SDM. Izin sanggup diberikan sebagai bentuk insentif sesudah melalui masa orientasi dan mempunyai kesiapan untuk menjadi koperasi mandiri.
Batasan pemerintah sudah sangat jelas, yakni pada masa mematangkan dan menguatkan koperasi sebelum mengarungi dinamika perekonomian. Dengan kata lain, tugas pemerintah sebatas membuat paradigma yang benar di awal (memberikan insentif) selebihnya otonomi koperasi dan pengembangannya dilakukan rumah tangga tanpa tangan besi terlalu menekan. Pemerintah hanya perlu melaksanakan monitoring dan penguatan orientasi gerakan tanpa terlalu jauh mengintervensi.
Konsistensi peningkatan kapabilitas pengurus akan berdampak terhadap peningkatan kapabilitas anggota koperasi dan pengembangan unit-unit usaha. Pada tahapan tinggal landas, sepenuhnya independensi dan hakikat koperasi sejati berdiri di atas kaki sendiri.
Kebangkitan koperasi sejatinya memberi keinginan akan pemerataan kesejahteraan yang lebih baik. Gerakan koperasi tidak lagi bersifat sporadik yang berdiri atas ego-sektoral. Koperasi perlu menguatkan kerja sama semoga sanggup lebih berpengaruh masuk ke jalur produksi dan distribusi. Diversifikasi produk dan pengoptimalan sumber daya memungkinkan untuk menghasilkan produk yang terdiferensiasi dalam memenuhi kebutuhan pasar. Luas jaringan perjuangan milik koperasi memungkinkan pembukaan pasar alternatif bagi produk-produk atau layanan jasa masyarakat yang sulit menembus pasar arus utama.
Pembidanan koperasi ini bertolak pada prinsip dasar kemandirian. Artinya, koperasi dihentikan dijadikan alat politik negara dan alat pembangunan yang dianakemaskan dengan fasilitas-fasilitas. Penekanan lebih pada cara mengakomodasi spesialisasi yang terjadi di bawah payung koperasi. Keragaman unit perjuangan dan keterampilan masing-masing anggota koperasi sanggup dimanfaatkan dengan denah kolaborasi. Misal, koperasi atau anggota yang berfokus pada produksi, distribusi dan pemasaran dipertemukan untuk membuat kekuatan bisnis. Sejak dini, koperasi sungguh disiapkan menjadi payung dan sentral kesejahteraan. Sudah saatnya koperasi bangun dari keterpurukan dengan daya dan kuasa yang lebih berpengaruh sehingga amanat UUD 1945 dan Pancasila tidak lagi menjadi gema slogan kosong nasional.
Andi Suryadi mahasiswa Ilmu Ekonomi Kelembagaan Universitas Sanata Dharma
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon