
Jakarta -
Perintah doktrinal puasa Ramadhan sehingga berujung kepada visi la'allakum tattaqun perlu untuk dicamkan kembali oleh umat Islam. Puasa sebagai laku spiritual bahwasanya merupakan ritual yang berlaku pada semua umat beragama sebelum Islam. Puasa merupakan starting point untuk menuju kepada derajat ketakwaan kepada Tuhan.
Pertanyaannya, dapatkah puasa Ramadhan tahun ini mengubah sikap kita? Atau hanya sekadar serangkaian ritual yang kita lakukan alasannya ialah sebuah keterpaksaan atau untuk menggugurkan perintah Tuhan? Apakah puasa Ramadhan mempunyai implikasi untuk menjadikan kita lebih toleran kepada sesama?
Maraknya aneka macam kasus intoleransi di sejumlah kota menjadi penanda semakin menipisnya sikap toleran dan altruistik di masyarakat akar rumput. Kasus intoleransi diperparah dengan masuknya simbol-simbol agama dalam ranah politik. Beberapa kalangan memakai idiom agama untuk mendapat proteksi massa dalam kontestasi Pemilu 2019. Ada yang menyamakan pemilu dengan Perang Badar sebagaimana yang terjadi pada masa Rasul Muhammad. Dan berdoa kalau Allah tidak memenangkan paslonya ia khawatir tidak akan ada yang menyembah-Nya di bumi Indonesia ini.
Pada konteks ini, dalam Hate Spin: The Manufacture of Religious Its Threat to Democracy (2016), Cherian George menawarkan analisis yang cukup baik bahwa tanda-tanda intoleransi yang terjadi di negara-negara penganut demokrasi merupakan suatu pertunjukan yang sengaja dibentuk oleh wirausahawan politik untuk meraih kekuasaan dengan memanfaatkan sentimen agama.
Sebagian elite politik berusaha memakai perbedaan identitas dan agama untuk goresan dengan nasionalisme, Pancasila, dan NKRI. Sebagian elite politik mencoba mempersinggungkan agama dengan politik yang lalu membawa kepada cara keberagaman yang eksklusif, hitam-putih, dan menafikan keragaman. Implikasi lebih dalam dari hal di atas ialah terlepasnya agama dari pesan-pesan tenang yang dibawanya dan nilai-nilai agama mengalami penurunan (involusi) ke titik yang nadir.
Momentum
Ramadhan menjadi momentum yang sempurna untuk merajut kembali persaudaraan yang terkoyak alasannya ialah aneka macam macam kepentingan politik. Ramadhan menjadi waktu yang sempurna bagi elite politik untuk kembali merenungkan substansi dari puasa.Puasa di samping mempunyai visi untuk menjadi insan yang muttaqin (bertakwa), juga secara horizontal mempertebal persaudaraan dan tenggang rasa kepada yang lain. Dengan puasa kita menahan lapar, dahaga, dan syahwat duniawi. Dengan menahan lapar kita diajarkan untuk lebih sabar dan mempunyai sikap welas kepada sesama.
Momentum Ramadhan sejatinya ialah jeda kemanusiaan universal untuk merajut persaudaraan yang sempat terkoyak dan terobek gara-gara kepentingan politik sesaat. Kepentingan politik yang langsung yang mengoyak persaudaraan sesungguhnya tidak kompatibel dengan nilai-nilai yang terkandung dalam puasa bulan Ramadhan.
Sholahuddin, MA alumnus Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, Kepala Madrasah Aliyah NU Al-mustaqim, Jepara
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon