
Jakarta -
Setidaknya terdapat dua taktik pembangunan desa yang terbilang cukup unik nan menarik di Asia. Yakni, di Jepang dan di Korea Selatan. Jepang dikenal dengan politik pembangunan OVOP, One Village One Product. Sementara Korsel populer dengan politik pembangunan Saemaul Undong-nya.
Di Indonesia, Saemaul Undong telah diterapkan dengan taktik pembangunan yang terbilang partisipatif, dengan melibatkan masyarakat untuk menghasilkan produk unggulan desa dengan memadukannya dengan konsep OVOP. Artinya, setiap desa harus mempunyai produk unggulan desa.
Ada empat desa yang menjadi percontohan konsep Saemaul Undong, yakni desa Ponjong dan Bleberan di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, desa Tanjung Wangi di Subang, Jawa Barat, serta Desa Sumber Mulyo di Bantul, Yogyakarta. Keempat desa ini mempunyai aktivitas dan produk unggulan yang berbeda-beda.
Saemaul Undong dan bahu-membahu sejatinya mempunyai kesamaan dalam hal pembangunan. Saemaul berasal dari kata sae yang artinya gres dan maul yang artinya desa. Sedangkan Undong artinya gerakan. Secara garis besar, Saemaul Undong ialah gerakan desa baru. Nah, gerakan desa gres ini sama prinsipnya dengan gotong royong, sekaligus pembangunan desa yang menerima pinjaman anggaran dari Korea Selatan, dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip yang ada di desa lokal.
Awal aktivitas Saemaul masuk ke Indonesia bermula atas kolaborasi lintas provinsi. Yakni, dikala Provinsi Sang Buk-do, Korea Selatan menjalin kolaborasi Sister Province dengan tempat Yogyakarta pada 2014. Atas dasar kolaborasi itu risikonya Saemaul menjadi aktivitas percontohan desa di Indonesia, dengan waktu kolaborasi 5 tahun bersama pemerintah Korea Selatan untuk turut berkontribusi bagi pembangunan di 4 desa di Indonesia di bawah pengawasan Yayasan Globalisasi Saemaul Indonesia (YGSI) yang mempunyai kantor perwakilan di Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
Kantor sentra di Korea Selatan, Yayasan Saemaul Globalization Foundation (YSGF) menjadi yayasan yang mengevaluasi, mengawasi dan turut mendanai aktivitas pembangunan dengan konsep Saemaul yang ada di banyak sekali negara, termasuk Indonesia. YSGF telah membantu banyak negara berkembang. Vietnam, Afrika, dan Filipina juga telah mencicipi pemberdayaan masyarakat desa dengan politik pembangunan Saemaul Undong.
Produk Unggulan
Produk unggulan di desa Ponjong ialah peternakan sapi komunal. Mayoritas warga desa Ponjong memang memelihara sapi. Sementara itu, di desa Bleberan terdapat perjuangan kecerdikan daya jamur. Di Subang ada pengelolaan sampah melalui bank sampah dan aktivitas produksi pakan ikan. Dan terakhir, di desa Sumber Mulyo terdapat perjuangan produksi beras.
Di setiap desa yang menerapkan aktivitas Saemaul Undong akan dibina selama lima tahun. Di setiap desa akan ada kantor pendamping, dengan 3-5 orang tenaga ahli. Pada tahun pertama, aktivitas lebih banyak memperlihatkan pelatihan-pelatihan ihwal pertanian dan pemberdayaan wanita. Kaprikornus yang menjadi target di sini ialah forum desa menyerupai KWT (Kelompok Wanita Tani), PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), dan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani).
Pada tahun kedua ialah pembangunan infrastruktur baik jalan desa ataupun gedung/kantor sesuai keperluan. Tahun ketiga peningkatan pendapatan masyarakat. Misalnya, sangkar sapi komunal yang terdapat di desa Ponjong, Gunung Kidul. Sebelumnya, pihak YGSI memperlihatkan sapi sebagai modal, sehabis itu sapi diternakkan dan beranak. Anak sap, risikonya menjadi milik penggaduh 100%, itu yang sanggup diambil warga desa. Di situlah maksud dari peningkatan pendapatan masyarakatnya.
Jadi, desa mengusulkan aktivitas apa yang akan dilakukan, kemudian YGSI melalui kantor perwakilan di desa yang akan membantu. Di sinilah diperlukan banyak partisipasi warga desa untuk memasok aktivitas atau inspirasi terhadap pembangunan desa, sehingga terjadi aktivitas pembangunan yang kolaboratif. Program yang telah disepakati kemudian menyasar kepada siapapun warga desa tanpa adanya prasyarat.
Ide yang dimiliki warga kemudian dibentuk dalam bentuk proposal. Setelah tawaran selesai kemudian diserahkan kepada Tim Saemaul yang ada di setiap desa, untuk membantu merealisasikan program. Koordinasi pun dilakukan di tingkat desa bersama pemerintah desa, kemudian hasil pembahasan disampaikan ke kantor sentra di Fakultas Filsafat UGM. Kemudian dari pihak UGM memberikan ke kantor sentra yang terdapat di Korea Selatan. Jika aktivitas disetujui, maka aktivitas tersebut sanggup dijalankan.
Untuk pembangunan desa, memang aktivitas Saemaul Undong tidak sanggup diterapkan di seluruh wilayah Indonesia sebab keterbatasan sumber daya, baik bahan maupun tenaga ahli. Namun, jikalau melihat regulasi pembangunan yang baru, UU Desa No. 6 tahun 2014 sejatinya telah memuat pola pembangunan yang cukup baik. Yakni, mewajibkan adanya produk unggulan desa yang dikelola oleh BUMDES, perlunya kolaborasi lintas desa maupun dengan pihak ketiga, serta perealisasian Dana Desa yang dikerjakan dengan memanfaatkan warga desa sebagai pekerja utama, biar perputaran uang tetap berada di desa. Sistem ini cukup baik jikalau dilakukan dengan tepat.
Yohansen Gultom analis politik pembangunan, mahasiswa departemen Ilmu Politik FISIP USU. Tulisan ini hasil observasi selama melaksanakan penelitian di Yogyakarta, 14-17 April 2019
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon