
Jakarta -
Pertanyaan Alfedri, Bupati Siak Sri Indrapura, kepada masyarakat dalam sebuah kunjungan di masjid desa saya pada selesai bulan Ramadhan kemudian mengingatkan saya dengan buku Hasan Hanafi berjudul Min al-aqidah ila ats-tsaurah atau Dari Teologi Menuju Revolusi (1991). Dalam buku tersebut, cendekiawan Mesir itu mengkritik ritus agama yang hanya dijalankan sebagai pelaksanaan perintah Tuhan yang melangit tanpa mempunyai kegiatan sosial berarti. Padahal pengejawantahan perintah agama semestinya tidak sanggup dipisahkan dari kondisi sosial masyarakat.
Alfedri bertanya, sebagai negara muslim terbesar di dunia, mengapa kemiskinan masih menjadi duduk kasus bangsa Indonesia? Bukan tanpa lantaran pertanyaan itu muncul, mengingat Islam mempunyai banyak sekali tuntunan dalam mengentaskan kemiskinan. Namun di negara dengan penganut terbesarnya, pengentasan kemiskinan belum berjalan dengan maksimal. Pada 2018, Badan Pusat Statistik merilis angka kemiskinan di Indonesia yang cukup tinggi, sebesar 25,95 juta (9,66%). Dalam kesempatan itu Bupati Siak membeberkan kegiatan pemerintahannya dalam kegiatan pengentasan kemiskinan, yaitu dengan memaksimalkan potensi zakat.
Dalam teologi Islam, harta benda yang dimiliki seseorang mengandung harta milik orang lain yang mesti dibersihkan atau disalurkan. Karenanya, salah satu rukun Islam yang harus dijalankan setiap muslim yaitu membayar zakat. Kewajiban zakat sama bobotnya dengan syahadat, salat, puasa, dan haji.
Pemahaman menyerupai ini tentu perlu diluruskan mengingat ada dua jenis zakat yang diwajibkan. Pertama, zakat fitrah dengan menawarkan minimal 2,5 kg materi masakan pokok pada bulan Ramadhan. Kedua, zakat mal atau harta benda. Zakat ini dikenakan atas harta benda yang dimiliki oleh seseorang manakala sudah mencapai batas minimum pembayaran zakat (nisab) dan melalui periode satu tahun (haul). Zakat ini mencakup zakat emas dan perak, pertambangan, profesi, perniagaan, peternakan, pertanian dan lain sebagainya.
Menurut data yang diungkapkan Badan Amil Zakat Nasional, potensi zakat nasional di Indonesia pada 2017 mencapai Rp 271 triliun per tahun. Tetapi jumlah zakat yang diterima gres mencapai Rp 5 triliun. Jumlah tersebut masih sangat jauh dari kondisi ideal. Artinya, bila dikelola dengan baik, atau bahkan sanggup menjadi sebuah kesadaran sosial, zakat sanggup menjadi sebuah cara ampuh untuk mengentaskan kemiskinan.
Berbagai Tantangan
Di samping peluang yang begitu besar, pembayaran zakat menghadapi banyak sekali tantangan. Pertama, banyak masyarakat yang belum memahami kewajiban dan tuntunan zakat sebagaimana disinggung di atas. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan tokoh agama dalam melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat. Bagaimana caranya semoga masyarakat yang beragama Islam sanggup menjalankan perintah agamanya dalam mendukung upaya pengentasan kemiskinan.
Kedua, penyaluran zakat yang masih berupa konsumtif alih-alih produktif, biasanya berupa penyaluran zakat dalam bentuk uang tunai. Hal ini memang sudah sesuai koridor tuntunan mudah Islam (fikih). Namun bila melihat zakat tidak sebatas serah terima harta, pinjaman zakat produktif tentu menjadi pilihan yang jauh lebih baik. Bupati Siak menceritakan upaya pemerintahannya menyalurkan zakat dalam bentuk pinjaman binatang ternak yang sanggup dibudidayakan. Harapannya, peserta zakat sanggup menjadi pemberi zakat di masa yang akan mendatang apabila usahanya berkembang.
Ketiga, tidak terkoordinasinya banyak sekali forum peserta zakat. Di Indonesia hampir setiap organisasi massa keagamaan yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan mempunyai forum peserta zakat, infak, dan sedekah. Namun lembaga-lembaga ini berjalan masing-masing tanpa mempunyai wadah untuk melaksanakan koordinasi dan komunikasi. Ke depan, sebaiknya pemerintah mempunyai prosedur pengumpulan dan penyaluran zakat sebagaimana penentuan awal bulan bulan rahmat dengan melaksanakan koordinasi antar banyak sekali forum peserta zakat.
Apakah negara mempunyai wewenang dalam menarik zakat kepada masyarakat secara langsung? Apalagi negara Indonesia bukanlah negara agama di mana negara mempunyai batas dalam mengatur kehidupan beragama masyarakatnya.
Sebagai pola yaitu negara tidak berhak mengatur warganya untuk menjalankan salat, puasa, atau haji meski pun ketiga hal tersebut termasuk dalam rukun Islam. Negara hanya berkewajiban untuk menawarkan kemudahan bagi umat muslim yang ingin menjalankan perintah agamanya, contohnya dengan membentuk panitia haji dan umrah, menawarkan izin pembangunan rumah ibadah, dan lain sebagainya.
Di sinilah pertanyaan besarnya. Sejauh mana pemerintah menawarkan kemudahan bagi umat muslim dalam menjalankan kewajiban zakat? Pendekatan dalam menangani zakat tentu berbeda dengan salat, puasa, atau haji dan umrah, mengingat kewajiban tiga hal tersebut sudah menjadi pengetahuan umum. Sementara zakat, masih banyak yang belum memahami secara utuh.
Pemerintah memang sudah mempunyai Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang bertugas untuk mengelola zakat umat. Tetapi apakah Baznas benar-benar mempunyai data setiap zakat yang dikelola oleh banyak forum peserta zakat? Atau Baznas masih berfungsi sebagai 'kasir' yang hanya mendapatkan bila ada yang melaksanakan 'transaksi' terhadapnya?
Dalam kegiatan pengentasan kemiskinan, menjadi "kasir" tentu tidak cukup. Dibutuhkan sikap pro-aktif dari pemerintah sebagai pengelola negara untuk memastikan keyakinan baik masyarakat dalam menjalankan perintah agamanya menjadi tidak sia-sia. Apabila kita sepaham melihat zakat sebagai perjuangan untuk mengentaskan kemiskinan, tentu lembaga-lembaga peserta zakat itu mau bersinergi satu sama lain.
Diskusi dan perdebatan wacana keterlibatan pemerintah dalam urusan agama akan selalu terjadi. Namun, bukankah kita sama-sama mafhum bahwa pengentasan kemiskinan merupakan tujuan berbangsa dan bernegara khususnya amanah Pancasila sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Peluang pengentasan kemiskinan dari sektor zakat cukup besar melihat pertumbuhan kelas menengah muslim Indonesia sebagaimana diungkapkan Yuswohady (2014). Ia melihat kecenderungan semakin religiusnya kelas menengah muslim yang disebut sebagai Gen-M. Bagi Yuswohady, Gen-M muncul lantaran besarnya geliat keislaman di kalangan anak muda muslim Indonesia. Pasar muslim menggeliat dan bertumbuh demikian pesat ditandai maraknya industri hijab, kosmetik halal, bank dan keuangan syariah, masakan halal, hotel syariah, dan sebagainya.
Bagi Yuswohady, yang menarik dari fenomena menggeliatnya pasar muslim dan industri berbasis Islam tersebut yaitu bahwa nilai-nilai Islam dan aliran Nabi Muhammad mulai menjadi driving factors bagi konsumen muslim Indonesia dalam memutuskan pembelian dan menghipnotis sikap membeli dan mengonsumsi mereka. Artinya, ketaatan kepada aliran Islam menjadi faktor yang kian penting bagi mereka dalam memutuskan produk dan jasa yang akan mereka beli dan konsumsi.
Jika industri sanggup memanfaatkan tumbuhnya religiusitas untuk membuat pasar konsumtif yang baru, mengapa kita tidak mengkapitalisasi semangat beragama ini menjadi sebuah gerakan produktif pengentasan kemiskinan melalui zakat?
Sarjoko warga Siak Sri Indra Pura, Riau; sedang menempuh pendidikan S2 Ilmu Komunikasi UGM, Yogyakarta
EmoticonEmoticon