
Jakarta -
Judul Buku: Sofisme; Penulis: Plato; Penerbit: Basabasi, Januari 2019); Tebal: 136 halaman
Kondisi politik mutakhir Indonesia, terutama pra dan pasca pilpres, membuka kembali percakapan ihwal keberadaan kaum Sofis, dalam bermacam-macam tafsir dan karakteristik masing-masing, juga upaya menautkannya dengan era kini.
Mulanya saya berpikir—sekaligus berharap—hal ini bukan semata-mata untuk memenuhi hasrat umpatan dalam kontestasi pemilu, sebab, "Kau bukan filsuf, kau sofis," memang terdengar lebih sophisticated ketimbang diksi "cebong-kampret", bukan?
Tapi, menyerupai kita tahu, pikiran dan cita-cita acapkali tiba dalam bentuk lain. Diksi "Sofis" yang telanjang justru dijadikan tameng sekaligus senjata untuk menentang kelompok yang berbeda, alih-alih memberi definisi yang ideal dan meneroka muasal mengapa ia ada. Konsekuensi logis setelahnya bisa kita tebak, di internet orang-orang lihai merundung figur berseberangan dengan label "Sofis" tanpa pengetahuan yang memadai.
Dalam khazanah percemoohan dunia, hal semacam itu ialah selemah-lemahnya iman. Pada tatanan pakar, Februari 2019 para pegiat filsafat di Jakarta mengadakan diskusi publik dengan tema Menolak Pembusukan Filsafat. Kegiatan tersebut menelurkan enam poin yang sekaligus menjadi pernyataan perilaku dan ditandatangani oleh 106 orang, di antaranya Goenawan Mohamad, Setyo Wibowo, Donny Gahral Adian, dan Akhmad Sahal.
Di luar janji itu, beberapa orang menilai ada jadwal politis yang hendak diselundupkan. Misalnya, I Nyoman A. W dalam eseinya menulis, "Mereka beramai-ramai menunjuk Rocky Gerung sebagai pemilik wajah sofisme klasik kontemporer, ia dianggap merendahkan marwah filsafat ke dalam retorika sofis yang minus esensi."
Untuk keluar dari pergeseran definisi "Sofisme" yang telah disusupi jadwal politik, kita bisa membaca satu magnum opus yang ditulis Plato berjudul Sofis yang edisi terjemahannya diterbitkan oleh Penerbit Basabasi, Yogyakarta ini sebagai acuan dasar.
Buku ini dibuka dengan lanskap di mana Theodorus dan Theaetetus mengajak orang asing—murid Parmenides dan Zeno—yang berasal dari Elea untuk ikut berdiskusi ihwal pengertian Sofis, dan kepada siapa ia julukan itu layak disematkan.
Seperti pada kebanyakan karyanya, Plato memang selalu memakai obrolan sebagai metode filosofis yang ia anggap sebagai seni manusiawi yang paling tinggi.
Keterampilan semacam ini disebut dengan metode Sokratik, alasannya Socrates tidak pernah mangkir tampil sebagai tokoh utama pada setiap percakapan. Hampir seluruh filsuf pada zaman itu memakai metode ini, contohnya Xenophon, Antisthenes, Aeschines dari Sphettos, Phaedo dari Elis, Euclides dari Megara, Theocritus, Tissaphernes, dan Aristoteles.
Metode ini terus dielaborasi sampai sekarang. Mortimer J. Adler, seorang filsuf pendidikan Amerika Serikat, dalam bukunya Paedia Program (2009) menyampaikan metode Sokratik sebagai cara paling ampuh sesudah ceramah dan pembinaan (coaching).
Dalam buku ini kita bisa melacak bagaimana cara Plato memberi keterangan ihwal Sofis melalui tiga periode dialog; periode penyelidikan (inquiry), periode spekulasi (speculation), serta periode kritisisme, penilaian, dan aplikasi (critism, appraisal, and application).
Jika persoalan-persoalan besar ingin ditangani dengan tepat, maka perkara itu harus diturunkan ke dalam pola yang lebih kecil dan gampang sebelum masuk pada definisi yang lebih besar dan rumit (halaman 7). Dalam buku ini nelayan dipakai sebagai pola terkecil, sebelum risikonya percakapan berkembang di mana terdapat titik singgung antara keduanya. Bermula dari seni menangkap, keduanya bercabang dikala perburuan hewan; yang satu pergi menuju laut, yang lain lagi menuju darat.
Sofis memburu manusia—lazimnya pemuda—untuk diberikan pelajaran ihwal seni berdebat dengan imbalan uang. Mereka juga mengelilingi kota dengan pemikiran relativisme, dengan argumentasi yang tak peduli terhadap keutamaan (arete). Dengan demikian Sofis tampak hanya mempunyai semacam pengetahuan spekulatif dan semu ihwal segala hal.
Di satu sisi, kaum Sofis ialah para pendidik tulen yang memunculkan fenomena budaya intelektual di Athena. Mereka menolong orang memakai nalar budinya secara maksimal. Namun di sisi lain, kaum Sofis jatuh dalam ancaman sophistiquerie. Karena sombong dan merasa bisa melogiskan segala sesuatu, juga terlalu yakin bisa merasionalkan segala hal, Sofisme menjadi terlalu banyak membual. Sejak Platon, kata Sofisme simpel menjadi musuh filsafat, kembaran hitam filsafat, dan diucapkan sebagai cemoohan (Jean-François Pradeau, Introduksi, 2009, hl. 7-9, 18).
Dalam beberapa karyanya Plato memang sering memberi ulasan negatif terhadap para Sofis, contohnya dalam Gorgias dan Protagoras. Skeptisime dan nihilisme para Sofis—dengan nama Gorgias dan Protagoras—ditentang Sokrates lewat obrolan aporetik yang berhenti tanpa kesimpulan, sehingga hasil dari obrolan ialah bahwa para pendialog sama-sama tidak tahu. Ketidaktahuan ialah satu-satunya kepastian.
Juga dalam karya lain yang bisa dijadikan acuan ihwal narasi Sofisme; Meno (tentang kebajikan dan pengetahuan), Xarmides (tentang kemawasdirian), Lakhes (tentang keberanian), dan Lysis (tentang persaudaraan).
Menurut K. Bertens dalam Sejarah Filsafat Yunani (1990), buku yang ditulis plato mereduksi Sofis menjadi makna yang peyoratif. Kendati demikian, belakangan perjuangan untuk memperlihatkan evaluasi positif telah banyak hadir. Sebagai penyeimbang, sila baca Petualangan Intelektual, Simon Petrus L. Tjahjadi (Kaninsius, 2004).
Buku ini secara singkat membawa kita pada kesadaran penuh untuk mengurai benang kusut Sofisme dengan landasan sosio-historis, bukan politik praktis. Lalu, sudahkah kita tahu dan bisa menilai siapa Sofis? Jika Anda bijaksana—seperti Plato—mestinya satu-satunya yang Anda ketahui ialah Anda tidak mengetahui apa-apa.
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon