Tuesday, April 9, 2019

Paradoks Politik People Power

Paradoks Politik People PowerAmien Rais (Foto: Rengga Sancaya)

Jakarta -Mendekati hajatan Pemilihan Umum 2019, narasi-narasi provokasi tidak juga surut. Berbagai bahaya masif dilakukan. Tentu ini menjadi sangat tidak elok di tengah panasnya atmosfer politik akhir-akhir ini. Parahnya lagi, kelompok yang meniupkan nada-nada provokasi tiba dari elite itu sendiri. Dalam konteks ini, pengerahan massa (people power) kembali dicetuskan oleh politisi Senior Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais. Menurut Amien, people power akan terjadi jikalau terjadi kecurangan pemilu. Tentu informasi people power menjadi salah satu intimidasi yang berlebihan. Aksi-aksi provokatif, intimidatif tidak hanya merugikan penyelenggara pemilu, namun juga publik.

People power bahu-membahu bukan suatu hal gres dalam diskursus politik Tanah Air. Secara terang-terangan, masa Orde Baru menjadi representasi bagaimana politik kerumunan (demonstrasi massa) bisa menjadi kekuatan gres untuk memutus lajunya kekuasaan. Atas nama rakyat, penguasa Orde Baru dilucuti. Kendati kerumunan massa ketika itu belum mencerminkan kematangan demokrasi, namun sudah cukup menjadi bukti bahwa Orde Baru bermetamorfosa menjadi Reformasi.

Sejak tumbangnya pemerintahan Orde Baru, demonstrasi kerumunan telah direpresentasikan sebagai kekuatan atas demokrasi. Ketika ada individu yang dianggap tidak sejalan dengan kehendak pihak kerumunan (mayoritas), konsekuensinya ialah dikeroyok. Kendati begitu, demokrasi kerumunan bukanlah bentuk dari mobokrasi. Demokrasi kerumunan merupakan kekuatan massa yang bertujuan untuk menekan individu atau kelompok lain.

Tentu saja kematangan politik kerumunan massa harus diuji dalam iklim politik Tanah Air. Pasalnya, politik kerumunan menguras banyak biaya, energi, dan waktu yang dipertaruhkan. Jika politik kerumunan hanya sebagai ornamen atas ketidaksukaan kelompok tertentu, justru ini menjadi alarm bahwa cara tersebut tidak menemukan relevansinya. Yang ada, politik kerumunan hanya diwarnai oleh orang yang tidak mempunyai visi jangka panjang. Melainkan politik sentimentil dan primordial.

Dalam konteks politik Tanah Air, publik bahu-membahu telah membuka kembali demokrasi kerumunan. Aksi 411 dan 212 pada final 2016 sampai 313 beberapa waktu kemudian memperlihatkan bahwa bangsa kita mempraktikkan demokrasi kerumunan. Namun sayangnya, demokrasi kerumunan yang dilakukan hanya membuat perilaku sentimentil dan primordial. Demokrasi kerumunan tidak membuat keadaban yang mengacu pada kesejahteraan publik.

Pengerahan massa yang dicanangkan Amien Rais memang dihentikan diremehkan. Sebab, pengerahan massa merupakan bentuk terakhir atas ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu. Namun untuk dikala ini, pengerahan massa akan sulit terwujud. Pertama, jikalau dilihat dalam 10 tahun terakhir, magnet politik Tanah Air sudah mulai kondusif. Hampir tidak ada tanda-tanda politik yang signifikan ingin diakali hanya untuk memenangkan salah satu paslon. Dalam beberapa kesempatan pula, penyelenggara pemilu juga cukup teruji integritas dan netralitasnya, sehingga sangat sulit jikalau pemilu dianggap akan terjadi kecurangan. Karenanya, people power menjadi sangat berlebihan dan tidak mencerminkan iklim demokrasi yang sejuk.

Kedua, pengerahan massa merupakan cara usang yang sudah tidak cocok dalam konteks demokrasi di Indonesia. Pengerahan massa hanya cocok di kurun Orde Baru ketika demokrasi tersumbat, ruang-ruang aspirasi dan kebebasan dibatasi. Di kurun Orde Baru, pengerahan massa merupakan cara terakhir yang bisa dilakukan. Itu sebabnya mengapa pengerahan massa pada dikala itu sukses menumbangkan rezim Soeharto.

Namun sekarang, demokrasi sangat bebas, siapa saja boleh menyuarakan aspirasinya tanpa harus turun ke jalan. Media sosial, media cetak maupun online gampang diakses. Informasi tidak tersumbat, segala sesuatunya bisa diakses dengan baik. Perlawanan terhadap kesewenang-wenangan diberikan jalan oleh pemerintah. Harus diingat pula bahwa masyarakat Indonesia mempunyai nilai budaya ketimuran yang mengedepankan rasa aman, damai, tenteram, dan santun.

Ketiga, saluran untuk menguji sah tidaknya sebuah pemilihan sudah banyak. Berbagai mekanisme, institusi sudah sangat tersedia, sehingga cara-cara yang berpotensi memecah belah serta mengancam kohesi bangsa tidak perlu lagi muncul. Kita akan sulit membayangkan tingkat kenegarawanan seorang tokoh jikalau sudah tidak mempercayai mekanisme aturan menyerupai Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, segala sesuatu yang berafiliasi dengan somasi hasil pemilu sudah tersedia melalui MK.

Keempat, banyak tokoh agama maupun elite dari kalangan ormas Islam yang tidak oke dan bahkan menentang wangsit Amien Rais tersebut. Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah David Krisna Alka misalnya, menganggap bahwa pernyataan Amien Rais sebagai bentuk kefrustrasian. Tentu saja pernyataannya bisa dibaca sebagai salah satu cara penolakan atas apa yang diinisiasi oleh Amien Rais. Itu juga dimaksudkan untuk tidak memperlihatkan pernyataan yang justru hanya merusak iklim demokrasi.

Akhirnya, people power boleh jadi merupakan perdebatan yang tidak mengandung nilai konstitusional. People power merupakan alat untuk melegitimasi hasil pemilu melalui kekuatan massa. People power sudah tidak lagi tunduk kepada aturan yang berlaku. People power merupakan akumulasi dari kekecewaan kelompok atas hasil pemilu. Tetapi, mekanisme aturan harus terus dikedepankan sebagaimana pematah usang "sekalipun langit akan runtuh, aturan harus tetap ditegakkan."

Aminuddin Direktur Eksekutif Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (Pokasi), alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)