
Jakarta -Mas Lurah Hastono Sumitro namanya. Seorang bau tanah yang telah mengabdi 57 tahun pada Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, lebih dari dua per tiga hidupnya yang kini berumur 81 tahun. Ia yaitu juru kunci Makam Raja-Raja Mataram di Kotagede. Sumitro juga saksi hidup betapa banyak tokoh publik, pejabat atau calon pejabat, termasuk calon presiden yang telah sowan menziarahi Panembahan Senopati dan raja-raja lainnya, serta para leluhur Mataram.
Sore kemarin, Sumitro yang seorang diri membukakan gerbang area makam, setia menyidik dupa-dupa yang meranggas dimakan api. Tak ingin mencampuri urusan siapa pun yang berziarah, ia menunggu para tamu di luar gedung makam. Ya, nisan-nisan besar dan bau tanah para raja itu memang tidak dibiarkan diterpa terik matahari dan dibasahi derai hujan. Menyilakan masuk peziarah, tanpa membatasi waktu, tentu Sumitro yakin peziarah layak dipercaya.
"Sebagian orang beranggapan insan yang telah wafat benar-benar telah tiada. Namun, sebagian lainnya menilai, beliau-beliau ini tidak benar-benar telah tiada, sebetulnya masih ada walau pun kini beda dimensi. Dan oleh alasannya yaitu itulah ada saja yang terus melanggengkan ziarah, terutama ke makam raja-raja dan para Waliyullah," kata Sumitro dalam bahasa Jawa. Ya, arus ziarah ke makam-makam keramat memang tidak pernah putus.
Dunia memang melesat maju, tapi darul abadi tidak pernah tertinggal meski sejengkal. Di negeri ini, bunyi milenial memang sangat diperebutkan untuk memenangi pemilihan presiden dan calon presiden, juga calon legislatif, namun bunyi dari alam mistik tidak pernah diremehkan. Hanya saja, berbeda dengan suasana batin dan percakapan di warung-warung kopi pada masa-masa pemilu yang telah lalu, khususnya di Jawa, kini tema wahyu keprabon tidak menonjol.
Perseteruan antarkubu didominasi oleh info sentimen agama, terutama agama mayoritas. Perang ideologi bahkan telah terjadi pada tahun-tahun pertama periode pertama Joko Widodo menjabat presiden. Perang opini di media massa maupun media umum ibarat tidak mengenal istirahat. Propaganda apa pun, mulai dari hoaks, ujaran kebencian dan permusuhan, sampai perdebatan sengit tanpa ujung pangkal, mewarnai proxy war. Termutakhir, people power diancamkan.
Barangkali juga alasannya yaitu Pemilihan Presiden 2019 ini hanya semacam pengulangan dari Pemilihan Presiden 2014, yaitu antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto, maka tidak menyeruak lagi cengkerama perihal Jangka Jayabaya. Konsep Notonagoro tidak di-uthak-athik gathuk ibarat yang sudah-sudah. Ya, masih muncul perbincangan perihal trah. Namun, bukan untuk menegaskan siapa yang nasabnya lebih baik melainkan untuk menegasikan tuduhan Jokowi anak PKI.
Belajar kepada Sumitro, yang setia untuk menjaga dan merawat makam Raja-Raja Mataram, alam tampak dan alam tidak tampak sebetulnya berkelindan. Ada kenyataan di atas meja, ada pula di bawah meja. Ada informasi terbuka yang sanggup diakses siapa pun, ada pula info intelijen yang bersifat tertutup. Sebesar apa pun pasang-surut arus, tidak akan pernah air permukaan dan kedalaman terpisahkan. Ritual dan spiritual dikodratkan menyatu.
Kampanye tidak hanya soal memberi kesepakatan pada konstituen, tapi juga meminta doa dari mereka. Entah usul itu benar-benar nrimo ataukah hanya manis di lisan, mereka sebetulnya tahu bahwa selalu ada faktor tak terpetakan yang kebenarannya pasti melampaui seluruh hasil polling dari pihak dan forum mana pun. Faktor penentu itu yaitu kehendak Tuhan. Mereka tak akan menampik doa dari siapa pun sepanjang itu doa kemenangan. Para calon juga berdoa di tempat-tempat ijabah demi hajat politiknya.
Pesta demokrasi akan datang dalam beberapa hari ke depan. Siapa pemenangnya, apakah Joko Widodo atau Prabowo Subianto, telah tertulis semenjak mula di Lauh al Mahfudz. Tidak sanggup diubah dengan kecurangan oleh kubu mana pun dengan modus apa pun. Jauh sebelum agama dipolitisasi untuk perebutan kekuasaan, dalam hal ini pada Pemilu 2019 di Indonesia, Allah telah mengingatkan Nabi Muhammad SAW perihal sebetulnya Dialah yang memilih kekuasaan.
Dalam Q.S. [3]: 26, Allah tegas berfirman, "Katakanlah: Wahai Tuhan Yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." Allah-lah penentu kemenangan, bukan kita.
Dalam skala kecil, Sumitro menyampaikan ia selalu mendapatkan instruksi mistik sebelum diberi gelar oleh Raja Yogyakarta. Bermula dari Hastono, kemudian Bekel, kemudian Ngabehi, lantas Mas Lurah, Sumitro selalu merasa terhubung dengan instruksi gaib. "Tapi, kalau ditanya apakah aku sudah mendapatkan instruksi mistik mengenai siapa yang menang pemilihan presiden, aku hanya sanggup berkata, siapa yang mencintai dan disayangi rakyatnya maka ia yang akan terpilih," tuturnya.
Candra Malik budayawan sufi
Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon