
Jakarta -
Aksi yang dilakukan oleh kelompok "Anarko Sindikalisme" di beberapa kota menyerupai Bandung, Jakarta, Malang dan Surabaya, pada peringatan May Day (Hari Buruh) 2019 beberapa waktu kemudian cukup mengejutkan. Meskipun, pada 2018 di Yogyakarta, tepatnya di jalan utama sekitar Kampus UIN Kalijaga, agresi serupa juga terjadi dengan gaya yang serupa. Berpakaian hitam-hitam, kebanyakan berumur di bawah 20 tahun, dan beraksi secara individual meski ada dalam sebuah kelompok.
Bagi Benedict Anderson (Di Bawah Tiga Bendera. Anarkisme dan Imajinasi Antikolonial, Marjin Kiri, 2015), agresi menyerupai itu sesungguhnya mempunyai sejarah yang cukup panjang dan biasanya berujung pada kekerasan, bahkan kematian. Hal itu disebabkan lantaran agresi yang bergerak kalap terus-menerus menyerupai korelasi antarbintang di langit telanjur dipandang meresahkan, mengganggu, bahkan mengancam ketenangan dan kenyamanan dalam hidup sehari-hari.
Maka tak heran jikalau pada konvensi Partai Republik pada 2004 di New York, kepolisian metropolis menyatakan bahwa ancamannya bukan berasal dari orang-orang komunis, bukan pula dari fanatikus Muslim, melainkan dari kaum anarkis.
Pernyataan yang sesungguhnya agak tendensius itu tampak mau mewariskan suatu "ketakutan" yang sebelumnya telah distigmakan, baik pada orang-orang komunis maupun fanatikus Muslim. Dengan stigma itu, masyarakat pun dengan gampang dibentuk tunduk dan patuh tanpa bisa melaksanakan perlawanan apapun. Maka tak heran jikalau tuduhan-tuduhan menyerupai komunis, teroris, dan/atau radikalis begitu dihindari dan dijauhi biar tidak terkena "tulah/kutukan" daripadanya.
Penting untuk diketahui bahwa anarki ialah gerakan yang khas bentuknya dan beraneka ragamnya pada simpulan kurun ke-19 dengan prinsip "berorganisasi tanpa pemimpin". Dengan prinsip itu, kaum anarkis dengan bebas bergerak secara individual untuk melawan imperialisme dan/atau kolonialisme yang telah berganti wajah dalam globalisasi mutakhir.
Penemuan teknologi modern menyerupai telegraf, percetakan, kapal uap, atau kereta api semakin memperluas gerakan perlawanan kaum anarkis yang dengan cepat memanfaatkan migrasi lintas samudra untuk berjejaring dengan siapa saja dan di mana saja. Petani dan buruh di luar Eropa, termasuk penulis dan seniman "borjuis", serta gerakan nasionalis "kecil" dan "ahistoris", dirangkul sebagai sesama pelopor politik yang bukan lagi berpaham Marxis, melainkan anarkis migran.
Salah satu tokohnya ialah José Rizal dari Filipina yang ialah novelis jenius di Asia. Rizal yang dikenal juga sebagai bapak nasionalisme di Filipina itu telah dieksekusi mati di hadapan regu tembak di ruang terbuka berjulukan Bagumbayan (Taman Luneta) pada 30 Desember 1896. Sebagai novelis, Rizal telah menerbitkan dua karya termahsyur, masing-masing dengan judul Noli Me Tangere (Jangan Sentuh Aku) dan El Filibusterino (Merajalelanya Keserakahan). Dua karya itu telah membuat sebuah imajinasi wacana "masyarakat" di Filipina yang utuh dan kontemporer serta "tanpa kelas".
Hanya sayangnya, Rizal terlampau terpengaruhi untuk menjadi guru politik bangsanya dengan mengandalkan pada kekuatan pidato atau artikel kritis, sebagaimana kaum pandai Filipina pada umumnya, lebih daripada novel-novelnya. Itulah mengapa Rizal yang gres berumur 36 tahun dengan segera diadili dengan dakwaan penghasutan dan pengkhianatan di hadapan mahkamah militer. Meski tanpa dihadiri oleh para juri, sidang yang berlangsung hanya satu hari menjatuhkan vonis sanksi mati pada Rizal di daerah di mana seperempat kurun sebelumnya tiga orang pastor sekuler dieksekusi cekik dengan gelang besi.
Tragis, memang. Namun, kematian Rizal yang dianggap sebagai martir nasional telah menyulut api pemberontakan di Filipina. Jalan lapang menuju impian kemerdekaan dari imperium Spanyol pun terbuka bagi bangsa Filipina. Hanya sayangnya, proyeksi novel ketiga yang "indah" dan "artistik" tak membuahkan apa pun juga. Bahkan dua novel sebelumnya hanya tinggal menjadi kenang-kenangan yang sudah berada di luar impian gerakan revolusionernya yang bertumpu pada anarkisme.
Inilah wajah anarki yang telah kehilangan imajinasi dan dengan gampang diberantas, bahkan distigmakan setara atau lebih daripada komunis dan/atau teroris. Anarki yang pada mulanya merupakan suatu gerakan kritik sosial gres dengan prinsip di atas selalu dianggap sebagai ancaman besar justru lantaran dikerjakan tidak dengan serius dan militan. Artinya, para anarkis yang sesungguhnya anti imperialisme, kolonialisme, dan bahkan globalisme tidak mungkin untuk membuat keresahan, apalagi kekacauan, jikalau tanpa ada yang merekayasakannya.
Faktanya, pada insiden Haymarket Martyrs di Chicago, akibatnya diketahui bahwa yang membuat kericuhan dengan melempar bom ke tengah pasukan polisi dalam demonstrasi hening kaum buruh ialah para biro polisi sendiri. Maka, adilkah jikalau anarkisme masih dianggap sebagai ancaman besar yang lucunya di daerah cikal bakalnya Hari Buruh 1 Mei (May Day) dinobatkan hanya diperingati dengan sebuah monumen?
A. Windarto peneliti di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon