Friday, May 24, 2019

Keterlibatan Terpelajar Balig Cukup Akal Tanggung Dalam Agresi 22 Mei

Keterlibatan Remaja Tanggung dalam Aksi 22 MeiFoto: Agung Pambudhy

Jakarta -Sangat disayangkan, pujian-pujian yang banyak disampaikan negara lain atas berlangsungnya Pemilihan Umum 2019 yang berjalan tenang harus tercederai dengan insiden kerusuhan oleh oknum simpatisan maupun "penumpang gelap" dalam agresi yang bertajuk "Pemilu Curang" pada 21-22 Mei 2019 yang kemudian memakan korban jiwa, baik luka-luka hingga meninggal dunia.

Dari 8 korban meninggal dunia yang disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dua orang masih berusia di bawah 18 belas tahun. Hal ini tentu sangat miris, mengingat banyak undang-undang di negeri ini yang menyebutkan usia di bawah 18 tahun masih masuk kategori kelompok anak-anak. Namun, pada faktanya keterlibatan belum dewasa dalam agresi 21-22 Mei 2019 kemudian cukup banyak, dan bahkan mengakibatkan korban jiwa hingga meninggal dunia.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai forum yang berwenang juga menyayangkan bahwa agresi tersebut diikuti oleh anak-anak, bahkan hingga terdapat 14 anak yang telah melengkapi dirinya dengan surat wasiat. Tentu hal ini harus menjadi perhatian kita bersama sebagai bangsa yang besar akan sejarah. Bagaimana mungkin terjadi belum dewasa menciptakan surat wasiat sebelum ikut agresi unjuk rasa sebagai antisipasi kalau mereka meninggal dunia dan dianggap jihad di medan perang?

Distorsi

Berkaca dari insiden tersebut, sepertinya terdapat gap dalam sikap politik antara sosialisasi politik, partisipasi politik, dan pendidikan politik para pelaku kerusuhan yang juga melibatkan belum dewasa yang berusia belasan tahun.

Hakikatnya, sikap politik para "remaja tanggung" yang disalurkan melalui partisipasi politik berupa penyampaian pendapat di muka umum merupakan hal yang dilindungi oleh undang-undang. Namun sayangnya agresi mereka, menyerupai yang kemudian tertangkap kamera, diwarnai tindakan vandalisme. Hal ini kemudian memunculkan distorsi mengenai pemaknaan sikap politik warga negara yang berkaitan dengan sosialisasi serta partisipasi politik di tengah masyarakat.

Perilaku politik sendiri tidak sanggup dilepaskan dari aspek sosialisasi politik serta partisipasi politik (Rush & Althof, 2007). Dorongan dan tuntutan untuk merealisasikan sikap politik dalam iklim demokrasi merupakan hal yang lumrah, namun sikap politik juga kemudian sangat berkaitan dengan bagaimana seseorang mendapat informasi politik. Dan, sosialisasi politik mempunyai tugas yang besar terhadap arus informasi yang masuk dan keluar dari setiap individu, dalam hal ini belum dewasa yang terlibat dalam kerusuhan agresi 21-22 Mei 2019.

Seperti yang diutarakan oleh Rush dan Althof, proses sosialisasi politik tidak sanggup dibiarkan dengan sendirinya, namun perlu dikendalikan oleh pihak terkait, menyerupai negara melalui partai politik, atau media massa (2007). Dalam konteks agresi penyampaian pendapat yang diwarnai dengan adanya kerusuhan, merupakan penggalan dari sikap politik para belum dewasa yang terlibat, dan hal itu tidak salah selama berada dalam koridor hukum. Sebab sikap politik sanggup berbentuk sikap individu sebagai tugas di dalam kehidupan politik (Sastroatmodjo, 1995).

Namun, agresi unjuk rasa yang diikuti oleh belum dewasa hingga menjadikan korban meninggal dunia tersebut membutuhkan klarifikasi lebih lanjut dari motivasi apa yang dibangun oleh mereka. Sehingga sosialisasi politik mereka juga mempunyai peranan besar dalam latar belakang atau motivasi mereka mengikuti agresi yang sebagian berakhir ricuh. Bagaimana kemudian "remaja tanggung" tersebut mempunyai pandangan bahwa unjuk rasa tersebut harus diarahkan kepada tindakan vandalisme, dan bahkan rela untuk meninggal menyerupai di medan "jihad"?

Tentu terdapat kekeliruan dalam proses bagaimana belum dewasa tersebut mendapat informasi politik yang kemudian menyalurkan partisipasi mereka melalui unjuk rasa disertai vandalisme. Letak kekeliruan dalam proses sosialisasi politik dan partisipasi politik berada pada pendidikan politik yang mereka dapatkan, khususnya dalam forum pendidikan dan forum sosial lainnya.

Saat ini aneka macam saluran informasi sanggup dengan gampang diakses oleh banyak pihak, termasuk belum dewasa yang mengikuti agresi yang dilakukan dengan tindakan vandalisme. Patut disayangkan hal tersebut terjadi, mengingat belum dewasa tersebut intinya telah benar menyalurkan partisipasi politiknya, namun dalam proses sosialisasi politik yang mereka dapatkan tidak utuh, sehingga dengan gampang tergerus dengan emosi dan bukan mustahil belum dewasa yang mengikuti agresi hingga melaksanakan vandalisme itu secara penuh dengan sadar menjalankan partisipasi politiknya tersebut.

Dipolitisasi

Perilaku politik yang mereka lakukan dengan aksi-aksi yang tidak taat dengan aturan tentu mencederai demokrasi di Indonesia, mengingat motif agresi tersebut yaitu lantaran dugaan adanya kecurangan dalam Pemilihan Umum Presiden. Dampak dari adanya cita-cita untuk menuntut Pemilu yang higienis dan jujur secara tidak eksklusif juga dipolitisasi oleh para elite politik.

Seharusnya, para elite politik menawarkan informasi yang tepat, dan tidak mengarahkan massa untuk melaksanakan tindakan-tindakan di luar batasan hukum, sehingga proses dalam pembentukan sikap politik belum dewasa yang mengikuti aktivitas agresi hingga melaksanakan tindakan vandalisme itu sanggup secara utuh terbentuk menurut nalar berpikir yang rasional, dan tidak tergoda oleh provokasi baik dari elite politik maupun masyarakat yang memang menghendaki terjadi disintegrasi bangsa.

Maka dari itu, diharapkan perjuangan keras oleh lembaga-lembaga terkait, khususnya forum pendidikan dan sosial lainnya untuk menawarkan masukan untuk sosialisasi politik masyarakat. Khususnya bagi belum dewasa yang masih berada dalam proses pendidikan, sehingga mendapat informasi yang sempurna dan rasional dan tidak gampang menjadi korban provokasi yang merugikan banyak pihak.

Dalam konteks ini, forum pendidikan merupakan salah satu forum yang paling bertanggung jawab atas terjadinya insiden lalu. Tidak sedikit belum dewasa yang terlibat dalam agresi tersebut yang kemudian menyalurkan partisipasi politiknya dengan cara yang tidak tepat, yang disebabkan oleh proses mendapat informasi untuk memenuhi aspek sosialisasi politiknya yang juga kurang tepat.

Sudah sepatutnya anak-anak, dalam hal ini pelajar, diberikan pendidikan politik yang lebih realistis diubahsuaikan dengan kondisi zaman, dan tidak lagi terbatas pada aspek kognisi. Selain itu, butuh perjuangan ekstra bagi pemerintah untuk mereorientasi mindset para pendidik secara tidak eksklusif hanya menjalankan kewajiban merampungkan kurikulum yang disediakan oleh pemerintah.

Dalam kondisi ketika ini, pendidik juga harus berpikiran luas sehingga tidak terlalu textbook dalam proses pembelajaran, sehingga tujuan pendidikan yang tertera dalam undang-undang sistem pendidikan nasional yaitu menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab sanggup terwujud. Jika seluruh elemen forum pendidikan mempunyai langkah demikian, tentu proses pendidikan politik untuk generasi penerus di Indonesia akan mempunyai efek baik bagi jalannya bangsa dan negara Indonesia ke depannya.

Trezadigjaya guru PPKn Sekolah Menengah Pertama Labschool Jakarta, alumni Magister Ketahanan Nasional UI


Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)