Tuesday, April 2, 2019

Mendobrak Kesadaran Dengan Blokade Truk Sampah

Mendobrak Kesadaran dengan Blokade Truk SampahIqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)

Jakarta -Diam-diam, ada satu pikiran kurang latih menggeliat di otak saya, yang akan membuat semua orang Jogja mengumpat-umpat: saya ingin penutupan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan digenapkan menjadi sebulan penuh!

Jika setiap hari tak kurang dari 700 ton sampah ditimbun di TPST Piyungan, maka dalam sebulan ada 21 ribu ton. Nah, bayangkan kalau bukit-bukit sampah dengan total volume sebanyak itu tidak terangkut dan berceceran di sekujur Jogja, Bantul, dan Sleman. Apa yang akan terjadi?

Sabar, jangan ngamuk dulu. Itu cuma imajinasi. Bukan sejenis imajinasi untuk menghancurkan Jogja, atau untuk menimbulkan DIY sebagai peraih predikat Provinsi Terbau se-Indonesia. Ini semata-mata ihwal proses berguru bangsa manusia, yang kadangkala memang harus dijalankan lewat prosedur sadis berjulukan malapetaka.

***

Saya paparkan dulu ceritanya, supaya yang belum mengikuti soal ini jadi sedikit tahu. Begini. Beberapa hari yang lalu, ada problem di TPST Piyungan. Manajemen sampah kacau balau, kemudian warga sekitar marah. Intinya begitu. Dengan kemarahan itu, warga yang ternyata posisi politiknya tak kalah perkasa dibanding Pak Luhut itu menjalankan satu langkah ringan tapi berdampak mengerikan: mereka memasang palang, menutup jalan masuk menuju TPST.

Akibatnya simpel diduga. Tak ada truk sampah yang sanggup masuk. Akibat lebih lanjut, truk-truk itu pun tak mau mengambili tumpukan sampah pada aneka macam lokasi di tiga area, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Sleman. Buat apa diambil, kalau tak sanggup dibuang ke TPST? Akibat lebih jauh lagi, hanya dalam hitungan hari, sampah-sampah pun menggunung terabaikan di sekujur tiga wilayah itu, terutama di pasar-pasar.

Saya sempat menjumpai salah satu lokasi penumpukan sampah, yaitu di Pasar Lempuyangan. Saat itu masih sekitar hari kedua. Di hari itu saja, sampah bukan cuma menggunung, melainkan sudah meluber longsor berhamburan hingga ke jalanan. Ditambah dengan guyuran hujan yang begitu deras pada hari-hari ini, sempurnalah sudah semuanya, becek dan anyir menjadi satu paket yang kompak bersatu padu.

Setelah lima hari yang seiring dengan proses negosiasi, jadinya jalan masuk menuju TPST dibuka kembali. Itu memang kabar baik. Namun, kebaikan dari kabar itu hanya di soal administrasi sampah Provinsi DIY saja. Ia belum lagi menjadi kebaikan yang menghantam eksklusif ke inti kesadaran manusia. Sementara, hantaman eksklusif semacam itu cuma akan terjadi kalau problem sampah itu sungguh-sungguh terlihat di depan mata kepala semua orang hingga ke level individu, membawa kengerian dan depresi kolektif, dan saya yakin itu semua akan terjadi kalau 21 ribu ton sampah acak-acakan di sekujur Jogja.

Inilah inti kesadaran yang saya maksudkan: apa yang tampak sudah selesai di depan mata kita, gotong royong sama sekali belum selesai.

***

Selama puluhan tahun, pendidikan ihwal sampah di sekolah-sekolah umum dan di tengah publik mengajarkan sesuatu yang sangat egosentris. "Buanglah Sampah pada Tempatnya"; "Dilarang Membuang Sampah Sembarangan"; "Jangan Buang Sampah di Sini"; atau maksimal "Ya Allah, Cabutlah Nyawa Siapa pun yang Membuang Sampah di Tempat Ini".

Papan-papan peringatan, atau boleh disebut papan-papan edukasi publik menyerupai itu, dipasang seiring dengan bahan pendidikan nilai-nilai di sekolah-sekolah. Semuanya mengajarkan satu hal yang baik, yaitu betapa pentingnya menjaga kebersihan. Target-target yang dikejar bersama-sama yakni menimbulkan lingkungan tampak bersih, indah, cantik, dan nyaman. Desa bersih, kota bersih, kemudian Piala Adipura tiba sebagai legalisasi terpuncak atas penampilan yang bersih-bersih.

Persoalannya, pendidikan publik yang digencarkan itu seolah hanya mendefinisikan "lingkungan" sebatas sebagai ruang yang terjangkau pandangan mata kita. Maka kita pun bergembira dengan kota kita yang bersih. Sementara itu, kita lupa sama sekali bahwa kebersihan lingkungan kota kita membawa konsekuensi semakin kotornya lingkungan lain, yakni lingkungan daerah pembuangan sampah dan sekitarnya.

Kebersihan kota kita bukan kebersihan yang hakiki. Ia semu belaka. Ia hanyalah orientasi atas bersihnya rumah kita yang berbanding lurus dengan kotornya rumah orang lain. Ia bentuk kemenangan satu lingkup lingkungan yang mengalahkan lingkup lingkungan yang lain, manifestasi kezaliman satu lingkungan kepada lingkungan yang lain.

Bukankah itu wujud sangat kasatmata dari egosentrisme?

Dengan pendidikan kebersihan lingkungan yang egosentris, kita tak pernah beranjak menuju kesadaran bahwa nyemplung-nya sekantong sampah ke dalam kolam sampah itu bukan final cerita. Padahal, masih ada rentetan kisah lain yang membingkai sampah itu, kisah yang bahkan jauh lebih panjang lagi daripada fase sebelum ia nyemplung ke kolam sampah.

Nah, kisah yang panjang itu rasanya tidak akan pernah benar-benar disadari, kalau tidak ada bukit-bukit sampah yang ambrol tumpah ruah ke jalan-jalan, hingga membuat insan ternganga sambil menggumam tak percaya, "Duh Gusti, betulkah sampah dari rumahku ada di sana?"

Lalu, hingga di mana dunia pendidikan kita, terutama pendidikan di sekolah-sekolah, menyikapi realitas itu?

***

Sudah saatnya kalimat permintaan standar "Buanglah Sampah pada Tempatnya" itu dihapus dan diganti. Ia tidak cukup lagi sebagai penyikapan atas realitas. Bahkan, semenjak model kalimat permintaan semacam itu dirumuskan pertama kali dulu kala, ia gotong royong juga bukan respons yang cukup atas realitas. "Buanglah Sampah pada Tempatnya" yakni konsep hidup yang bukan cuma egosentris, melainkan juga tipe fatwa yang sangat cekak. Sekali lagi, kalimat semacam itu mengandaikan bahwa apa yang selesai di depan mata kita berarti sudah selesai pula dalam segenap proses keseluruhannya.

Alih-alih untuk membuang sampah pada tempatnya, model kampanye yang selayaknya segera dimulai yakni permintaan untuk "tidak membuat sampah". Tentu itu terdengar tidak mungkin dalam contoh insan berkonsumsi ketika ini. Tapi, mungkinkah mindset menuju ke sana kita awali?

Dulu hingga hari ini, orang yang jorok yakni orang yang membuang sampah sembarangan. Nah, bagaimana caranya supaya world view demikian berubah pelan-pelan menjadi: orang yang jorok yakni orang yang menghasilkan sampah? Jika itu sanggup diraih, kita akan semakin membangun tekanan sosial bukan hanya untuk tertib dalam membuang sampah, melainkan juga tertib dalam meminimalkan produksi sampah, bahkan takut membuat sampah.

Bila pandangan dunia menyerupai itu sanggup dibentuk, konsep sampah sanggup diperluas lagi. Bukan hanya sampah plastik, sampah kemasan produk-produk konsumsi, ataupun limbah industri. Ia sanggup dimaknai dalam konteks yang lebih luas: sampah informasi, sampah kata-kata, hingga... hmmm... sampah moral?

Ah, tiba-tiba saya kok malah jadi khawatir, jangan-jangan anjuran sudut pandang saya ini tak lebih daripada sampah pikiran belaka.

Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul

Tulisan ini yakni kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)