Friday, March 29, 2019

Politik Fesyen Dan Gaya Elite Politik Kita

Politik Fesyen dan Gaya Elite Politik KitaPresiden Jokowi dengan sarungnya (Foto: Rusman/Biro Pers Setpres)

Jakarta -

Apa yang ingin dikatakan saat Prabowo menggunakan dan mempopulerkan kemeja safari kantong empat ala Sukarno, Gus Dur menggunakan kolor dan kaos saat lengser, Kiai Ma'ruf menentukan berkalung sorban?

Gus Dur dalam sebuah wawancara saat ditanya wacana alasannya menggunakan celana kolor dan kaos oblong, berseloroh, "Itu supaya aku tidak dianggap sebagai presiden."

Presiden identik dengan paduan jas hitam, celana bahan, dan peci hitam, mengesankan suatu kombinasi untuk "fashion presidensial". Lalu, apakah saat Jokowi dalam banyak sekali kesempatan kampanye atau kunjungannya ke banyak sekali daerah mengenakan sarung, jaket bomber, sepatu sporty, itu semua untuk menyampaikan biar ia tidak dianggap sebagai presiden?

Saya mengamati gaya lipatan sarung yang beberapa kali dikenakan oleh Jokowi atau Ma'ruf Amin sangat rapi, dengan lipatan jatuh yang bertumpuk di bab depan. Lipatan sarung tersebut terang tidak identik dengan sarung yang biasa dikenakan di Indonesia. Lipatan menyerupai itu membutuhkan kain dengan diameter yang cukup lebar, sementara kita biasa melilitkan sarung sekali lipat.

Tapi, sebagai fesyen, sarung model besar itu cocok untuk bereksplorasi dengan model lipatan. Bukan mustahil ada staf kepresidenan bidang fesyen yang khusus memperlihatkan tips melilit lipatan sarung.

Di luar soal lipatan sarung, Jokowi saat menghadiri program Muktamar NU (2015) di Jombang, dan baru-baru ini saat hadir dalam Festival Sarung Indonesia 2019 (3 Maret 2019) mengenakan sarung warna merah dipadukan dengan atasan kemeja putih dan jas hitam. Mengapa Jokowi menentukan sarung warna merah? Kenapa tetap menggunakan jas hitam, dan tidak menentukan kemeja atau kaos katun biasa layaknya kombinasi fesyen sarung yang biasanya dikenakan di banyak sekali pesantren di Indonesia?

Politik Bergaya atau Gaya Berpolitik

Sejak dahulu fesyen, perpaduan mode, mulai dari pilihan baju, celana, dan aksesoris lainnya ialah produk sosial yang punya makna politis. Sarung merah Jokowi dengan praktis sanggup kita identikkan dengan afiliasinya pada PDIP. Perpaduan kemeja safari kantong empat, dengan tongkat komando dan gaya orasi Prabowo, seolah ingin menegaskan makna bahwa dirinya mewakili semangat Sukarno. Makna fesyen memang sanggup diarahkan oleh pemakainya, tetapi makna itu juga sanggup menjadi ruang yang bebas ditafsirkan orang yang melihatnya

Pada Februari 2019 Uniqlo salah satu merek fesyen terbesar dari Jepang yang mempunyai gerai di banyak sekali negara --termasuk Indonesia-- meluncurkan produk gres seri jaket demam isu semi berkerah, dan celana kain. Seri jaket demam isu semi ini cepat mendapat respons di sosial media dan beberapa surat kabar. South China Morning Post misalnya, berkomentar: "Apakah ini seri jaket militer, yang terinspirasi oleh fesyen Mao Zedong?" Orang masuk akal cepat mendapat kesan bahwa setelan fesyen ini terinspirasi dari Mao Zedong, alasannya potongan kemeja safari dengan empat kantong depan dan pilihan warna khaki yang menjadi unggulan produknya memang menyerupai dengan fesyen Mao.

Christophe Lamaire, desainer fesyen yang mengerjakan seri jaket tersebut, dan pihak Uniqlo menegaskan bahwa "kemiripan ini murni kebetulan". Tidak ada maksud untuk merancang jaket demam isu semi tersebut menyerupai pakaian pemimpin kaum proletar Mao Zedong. Mungkin ini memang kebetulan, tapi bagi aku tentu ini kebetulan yang mengasyikkan.

Bayangkan jikalau produk Uniqlo tersebut hingga ke gerai-gerai di Indonesia, apa yang terlintas di imaji dan pikiran orang Indonesia? Bisa jadi orang Indonesia akan teringat Sukarno, yang juga mempopulerkan baju safari empat kantong depan warna khaki. Sangat mungkin juga orang Indonesia akan lebih teringat pada insiden kontemporer sosok Prabowo Subianto. Bisa juga, imajinasi kita bersamaan eksklusif merujuk Sukarno dan Prabowo, kemudian menilai keduanya mempunyai perilaku politik yang selaras. Pada titik ini, pilihan fesyen Prabowo menjalankan fungsinya untuk mengartikulasikan kehendak politik tertentu, yakni "pewaris Sukarno".

Fesyen memang mempunyai kekuatan untuk "berbicara" wacana politik, meraup simpati rakyat, bahkan mencerminkan gaya berpolitik. Baju, celana, rok, hingga perpaduan aksesoris yang kita kenakan sanggup menjadi penanda bagi identitas "kelompok kita", sekaligus secara praktis membuat politik pembedaan untuk "kelompok mereka". Melalui prosedur menyerupai itu fesyen menjalankan fungsinya mengarahkan gambaran dan mendorong emosi seseorang untuk mengidentifikasi bahwa dirinya satu kelompok dengan salah satu tokoh politik tertentu, dan lawan bagi kelompok lainnya.

Benang merah antara fesyen dan artikulasi politik serta identifikasi kelompok dan individu punya akar besar lengan berkuasa dalam sejarah politik di Indonesia. Pada zaman simpulan kolonial menjelang revolusi kemerdekaan Kiai Soleh Dharat, diikuti oleh Kiai Hasyim Asyari berfatwa wacana larangan bagi seorang muslim menggunakan pakaian yang identik dengan penjajah --jas, dasi, dan celana. Selain itu dalam sebuah pertemuan Jong Java di Surabaya (1921) sebagian anggota menyatakan ketidaksetujuan menggunakan kain epilog kepala ala Jawa, dan sarung.

Anggota Jong Java melihat fesyen tersebut khas kaum pribumi rendahan. Sukarno memberikan ketidaksetujuan atas pendapat tersebut dan memperlihatkan alternatif fesyen lain. Sukarno menambah aksesoris peci hitam sebagai simbol nasionalisme Indonesia. Sejak itu, dengan praktis kita jumpai tokoh-tokoh pergerakan nasional di Jawa mengenakan peci hitam.

Menjadikan fesyen sebagai medium bagi artikulasi politik di dunia yang mengglobal menyerupai kini bukan tanpa risiko. Kita harus sadar bahwa globalisasi yang kita alami benar-benar telah menyentuh kehidupan sehari-hari. Televisi, internet, dan teknologi komunikasi lainnya memungkinkan orang dengan cepat mengenal Mao Zedong, mengetahui kondisi New York, hanya dengan sekali ketik.

Ketika seseorang melihat fesyen Prabowo, sangat mungkin ia justru mengimajinasikan bukan Sukarno, tetapi Mao Zedong, Ho Chi Minh, atau Zou Enlai yang juga terkenal dengan baju safari empat kantong. Keempat tokoh politik Asia Tenggara tersebut pernah kita tonton di televisi atau terlintas fotonya di media umum kita. Imajinasi kita tidak pernah salah saat menemukan makna lain dari fesyen yang keluar dari maksud utama pemakainya. Globalisasi menyediakan kanal bagi imajinasi untuk berkelana lintas tempat geografis, bahkan lintas ideologis.

Baju safari dengan empat kantong depan dan celana kain warna khaki memang menjadi identitas para nasionalis. Bersamaan dengan itu fesyen nasionalis tersebut juga berkelana lintas tempat geografis. Jangan heran jikalau fesyen Sukarno, Mao Zedong, Zou Enlai, Ho Chi Minh mirip, alasannya semenjak dahulu kita menyebarkan gaya, referensi fesyen, bahkan ideologi dari banyak sekali belahan dunia.

Jas hitam yang dahulu disebut sebagai simbol penjajah kini sanggup dipadukan dengan sarung yang dulu menjadi simbol kaum pribumi rendahan. Di satu sisi jas hitam telah mempunyai makna identik dengan fesyen presidensial, sementara sang presiden sedang ingin merebut hati kalangan Islam Tradisional yang identik dengan sarung. Presiden menyediakan tubuhnya untuk menjadi perlambang bagi satu sisi kekuasaan negara khas Barat yang disimbolkan dengan jas, sambil tetap menjadi pelindung bagi kaum Islam Tradisional yang identik dengan sarung.

Apa kesannya jikalau sorban, kain yang biasanya digunakan kaum muslim di leher dipadukan dengan jas? Sama-sama seorang kiai, antara Gus Dur dan Ma'ruf Amin kenapa beda pilihan baju presidensial? Hampir tidak pernah kita lihat dalam penampilan publiknya Gus Dur mengenakan sorban, jubah, atau pakaian terusan layaknya laki-laki muslim dari kalangan pesantren. Paling sering kita lihat Gus Dur hanya mengenakan kemeja batik dan peci hitam yang entah sengaja atau tidak, dalam beberapa kesempatan keliatan dipasang agak miring, berbeda dengan cara Sukarno menggunakan peci.

Perubahan politik menyerupai apa yang akan kita alami pada masa depan dilihat dari fenomena fesyen para elite politik kita hari ini? Yang jelas, fesyen elite politik hari ini tidak tiba tiba-tiba. Fesyen itu dikenakan untuk merespons banyak sekali tanda-tanda sosial politik di masyarakat. Saya selalu teringat kata-kata lengkap Gus Dur wacana alasannya menggunakan celana pendek dan kaos --"Itu supaya aku tidak dianggap sebagai presiden, supaya orang hatinya dingin."

Politik fesyen elite kita hari ini mungkin sanggup membuat hati kita tenang. Menimbulkan perasaan pada kita bahwa elite politik tersebut menggunakan fesyen yang sesuai simbol identitas kelompok kita. Tapi satu hal yang perlu diingat, sebagaimana kesepakatan politik yang sanggup berubah-ubah sesuai kepentingan, fesyen juga produk di bawah matahari yang kapan pun sanggup diganti sesuai selera dan tujuan politik pemakainya.

Danang T.P tinggal di Yogyakarta, sedang melaksanakan penelitian wacana politik fesyen di Indonesia


Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)