Tuesday, June 4, 2019

Semangat Religius Mudik

Semangat Religius MudikFoto: Rifkianto Nugroho

Jakarta -Ramadhan akan meninggalkan kita. Kita pun menyaksikan fenomena tahunan yang menghampiri umat Islam di Tanah Air, yakni mudik. Mudik merupakan tradisi khas muslim Jawa yang sudah mendarah daging dan menjadi ritual tahunan. Geliat pulang kampung selalu menandai datangnya Lebaran.

Kementerian Perhubungan RI memperkirakan jumlah pemudik 2019 mencapai 18,29 juta. Sebagian besar pemudik memakai bus dengan porsi 30 persen atau 4,46 juta orang, kendaraan beroda empat langsung 28,9 persen atau 4,3 juta orang, dan 40 persen atau 1,72 akan melewati jalur tol Trans Jawa. Sisanya Jalur Pantai Utara 27,3 persen, lintas selatan 8,5 persen, lintas Selatan-Selatan 3,4 persen, jalan Alternatif 12 persen dan Trans Sumatra 8,8 persen.

Tradisi pulang kampung ini seolah menjadi momentum solidaritas yang tidak hanya dimiliki oleh umat Islam saja. Tradisi pulang kampung ini telah menjadi perhatian utama pemerintah, forum sosial keagamaan, perusahaan-perusahaan, dan lain sebagainya. Beberapa ormas Islam laiknya NU dan Muhammadiyah, beberapa perusahaan BUMN memberangkatkan puluhan bus antarprovinsi untuk mengangkut mereka yang ingin pulang kampung menjelang Lebaran.

Mereka yang sudah berpuluh tahun merantau mengadu nasib, dan telah sukses di tanah rantau, pulang ke kampung halaman untuk sungkem kepada kedua orangtua, dan mengingat kembali kenangan-kenangan dikala masih sekolah atau pada waktu kecil.

Spirit Religi

Dalam Islam orangtua merupakan the sign of god's blessing (tanda akan kerelaan Tuhan). Hal ini ditandaskan dalam sebuah hadis yang menyatakan bahwa kerelaan Allah terletak di dalam kerelaan orangtua, dan sebaliknya kemurkaan-Nya terletak di dalam kemurkaan orangtua.

Mudik dalam perspektif terakhir ini berarti kembali ke kampung halaman dan bumi kelahiran untuk meminta ampun dan kerelaan kepada kedua orangtua. Dari perspektif ini pulang kampung sangat erat berkelindan dengan kata fitrah itu sendiri.

Kata fitrah dalam bahasa Arab merupakan derivasi dari kata kerja f-th-r, yang berarti keawalmulaan sesuatu, sementara sesuatu itu sebelumnya tidak ada, atau sanggup dikatakan juga sesuatu yang tercipta untuk pertama kalinya tanpa adanya preseden (contoh).

Penafsiran ibarat ini mengacu kepada ayat dalam Quran yang artinya: "Dan hadapkanlah wajahmu dengan hanif kepada agama Allah. (Tetaplah atas) Fitrah Allah yang insan diciptakan atasnya. Tak sekali-kali ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus." (QS. Ar-Ruum: 30).

Dari ayat di atas diambil sebuah kesimpulan bahwa fitrah insan tidak akan pernah berubah. Dalam analisis lebih jauh, kita mendapati bahwa fitrah mempunyai dua unsur fundamental.

Pertama, keimanan kepada Tuhan sebagai Rabb kita, sebagai Pencipta dan Perawat kita: "Dan ingatlah dikala Allah mengeluarkan (cikal-bakal) anak-cucu Adam dari punggung atau tulang sulbi ayah-ayah mereka (yakni di alam sebelum alam dunia ini) dan menarik persaksian atas diri mereka: Bukankah Aku ini Rabb-Mu? Mereka pun berkata: Benar, kami bersaksi. Agar kelak mereka tidak berkata: Sesungguhnya mengenai hal ini kami lupa." (QS. Al A'raf: 172). Inilah yang disebut oleh jago agama-agama sebagai perjanjian "primordial" antara insan dengan sang pencipta.

Unsur kedua fitrah yaitu pengetahuan wacana jalan kebaikan dan jalan keburukan yang telah diilhamkan kepada insan semenjak awal penciptaannya: "Dan demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaan)-Nya. Maka diilhamkan kepadanya jalan keburukan dan jalan ketakwaannya. Pasti berbahagia siapa saja yang memelihara kesuciannya, dan niscaya sengsara siapa saja yang mengotorinya." (QS. Asy-Syams: 7 - 10).

Komitmen Batin

Emha Ainun Nadjib dalam bukunya Sedang Tuhan pun Cemburu (1994) menulis, orang beramai-ramai pulang kampung itu gotong royong sedang setia kepada tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya.

Mudik itu membuktikan komitmen batin insan terhadap sangkan paran dirinya. Lebih jauh, Umar Kayam dalam Seni, Tradisi, Masyarakat (1981) menunjukkan, dikala orang-orang desa memutuskan pergi ke kota dan menetap atau tinggal sementara, nilai-nilai yang pernah mereka dapatkan dari milieu (lingkungan) kebudayaannya yang usang (desa) dikonfrontasi oleh nilai-nilai lain dari milieu yang lain pula (kota).

Para pemudik sejatinya ingin merayakan hari kemenangan dan kegembiraan bersama keluarga, ayah, ibu, kakek dan nenek di kampung halaman. Hari kemenangan sehabis mereka sebulan penuh berpuasa dan menunaikan zakat fitrah, sebagai sebuah bentuk penyucian diri dan harta mereka.

Sholahuddin, M.A Kepala MA NU Al-mustaqim Jepara & Alumnus Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta


Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)