Friday, March 29, 2019

Tafsir Muslimah Progresif Dan Impian Untuk Asama

Tafsir Muslimah Progresif dan Harapan untuk AsamaKalis Mardiasih (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)

Jakarta -Kami berangkat ke Kuala Lumpur International Airport (KLIA) dengan taksi yang sama. Penerbangan masih dua jam lagi. Asama, wanita yang bersama saya, akan pulang ke Thailand dan saya ke Yogyakarta. Selama delapan hari, kami gres saja mengikuti sebuah lokalatih bertema keadilan gender di Cyberjaya, Malaysia bersama wanita pelopor muslim Asia Tenggara. Saya mengajak Asama makan sambil menunggu waktu check in. Akhirnya, kami duduk di sebuah restoran fast food KLIA.

Sejak di taksi, saya menyimpan sebuah pertanyaan untuk Asama. Perempuan Pathani ini menangis dengan cukup emosional ketika sesi evaluasi. Saya yakin ia menyimpan sebuah dongeng yang layak untuk didengar lebih seksama.

"Asama, kenapa kau menangis cukup keras di selesai acara? Apakah kau merasa bahan sepanjang workshop cukup terkait dengan pengalamanmu?"

"Ah, Kalis...Ya, ya, saya aib sekali lantaran tiba-tiba begitu sentimentil di depan kalian semua."

Lokalatih yang kami ikuti menyajikan banyak materi, antara lain bahwa tauhid ialah dasar prinsip keadilan hubungan wanita dan laki-laki. Ternyata, jikalau yakin pada tauhid, seharusnya semua muslim anti-patriarki. Kami juga menerima metode membaca ayat Alquran, teks hadits dan maqalah fikih dengan prinsip keadilan dan kesetaraan gender. Sepanjang forum, Asama sangat antusias menyimak bagaimana seharusnya ayat perihal poligami, kepemimpinan, waris, ijab kabul anak, dan isu-isu wanita lain dibaca dengan adil dan tepat.

Asama kemudian bercerita dengan intim. Ia gres saja memeluk Islam tiga tahun terakhir. Sebelumnya, ia ialah pemeluk Buddha menyerupai layaknya penduduk lebih banyak didominasi Thailand. Ia mendapatkan pengalaman spiritual ketika menempuh aktivitas magister Antropologi di University of Aberdeen, Skotlandia.

Pada sebuah malam, ketika ia berjibaku dengan buku-buku diktat, matanya menangkap sebuah kalimat yang baginya cukup indah: "God is everywhere." Bagi seorang perantau, entah mengapa ia merasa kalimat sederhana itu begitu powerful.

Keesokan harinya, ia masih memikirkan kalimat itu. Dan ketika sedang mencar ilmu di perpustakaan universitas, tiba-tiba seseorang yang tidak ia kenal menggelar sajadah di depan daerah duduknya dan melaksanakan salat. Pada sore hari, di lift kampus, ia disapa "assalamualaikum" oleh seorang muslim.

Lewat beberapa pengalaman itu, rahasia Asama mulai mencar ilmu mengenal Islam. Ia sangat suka dengan konsep tauhid (lailahailallah). Sampai ketika ia kembali ke Thailand, ia karenanya mantap untuk masuk Islam. Ia mengucap dua kalimat syahadat dengan pinjaman seorang imam di Pattani. Sebelum mengucap dua kalimat syahadat, Asama sempat meminta tolong kepada imam masjid dan para jamaah supaya status muslimnya dirahasiakan dulu. Ia ingin mempelajari Islam dengan proses sambil menawarkan pemahaman kepada keluarga besarnya.

Namun, hal yang ia inginkan tidak terjadi. Sebentar saja setelah ia mengucapkan dua kalimat syahadat, namanya diumumkan ke seluruh kota. Ia eksklusif diwajibkan mengenakan jilbab. Ia eksklusif diajarkan aneka macam aturan Islam yang berlaku untuk muslim Pattani. Kepalanya eksklusif penuh dengan halal-haram, surga-neraka. Islam yang ia kenal sebagai "God is everywhere" berkembang menjadi produk-produk hukum. Lebih-lebih, produk aturan itu semakin tidak ia mengerti ketika hingga pada isu-isu perempuan. Ia bukannya tidak ingin taat, melainkan ingin berislam dengan sepenuh kesadaran. Ia ingin mengerti benar maksud dari sebuah perintah sehingga tak ada penyangkalan lagi dalam batinnya.

"Beberapa tahun ini saya menyimpan aneka macam pertanyaan terkait dengan hak-hak wanita dalam Islam. Saya tidak menyangka bahwa ternyata tafsir Islam mulai dari ayat Alquran, hadits, dan fikih itu beragam. Saya gres tahu bahwa syariat dan produk aturan berbasis syariat itu berbeda."

Saya bercerita bahwa di Indonesia pengalaman berislam dan laris keberagamaan sangat beragam. Berkaitan dengan info hak-hak perempuan, Indonesia bahkan telah punya banyak kiai feminis yang menulis buku fiqih wanita yang adil gender. KH Husein Muhammad, yang minggu kemudian gres saja mendapatkan gelar doktor honoris causa dari UIN Walisongo Semarang, ialah salah seorang pengawalnya. Saya ingat ketika Dr. Zayna Anwar, seorang pelopor wanita muslim Malaysia berujar bahwa ia sungguh iri melihat Indonesia, lantaran di Indonesia wanita muslim tidak sendiri ketika menyuarakan haknya, tetapi menerima dukungan penuh dari pria ulama yang mempunyai otoritas.

"Saya ingin mahasiswa muslim saya menerima pandangan yang bermacam-macam juga, Kalis. Guru-guru agama saya di Pattani masih sangat seragam. Saya frustasi melihat fakta banyak pria di sekitar saya melaksanakan pemaksaan dan kekerasan pada wanita dengan menyampaikan bahwa mereka melaksanakan itu menurut nilai-nilai agama Islam," demikian Asama berkeluh kesah.

Dunia telah menjadi desa global. Beberapa menit setelah percakapan itu, mungkin saya dan Asama akan berpisah di check-in counter KLIA. Tapi, beberapa menit sesudahnya, kami telah menjadi sobat di Facebook.

Saya menyarankan supaya Asama memutar film-film dokumenter bertema keberagaman dan keadilan gender di kampusnya. Seseorang seringkali mengklaim kebenaran atau merasa besar lantaran ia tidak melihat hal lain di luar dirinya. Sering ada istilah "kurang piknik" untuk mengomentari orang-orang yang gampang murka hanya lantaran pandangan yang berbeda. Tetapi, hari ini, piknik tak harus piknik fisik. Ada banyak buku dan film berkualitas yang sanggup ditonton. Saya pun sering menyimak dokumenter-dokumenter yang berkisah soal wanita muslim Taliban yang seringkali memilukan.

Saya menyemangati Asama supaya mulai membentuk komunitas untuk berdiskusi hal-hal keseharian yang mereka rasakan dalam berislam sebagai minoritas. Tak usah berpikir bahwa komunitas ialah sekumpulan orang dengan jumlah banyak. Cukup empat hingga lima orang saja untuk memulai obrolan. Jika menarik, lama-lama komunitas itu akan berkembang dengan sendirinya. Tetapi jikalau tak pernah dimulai, tentu saja selamanya Asama tetap sendirian mencicipi kegelisahannya.

Sampai jumpa lagi, Asama! Saya berjanji suatu ketika akan main ke Prince Songkla University dan juga menengok perempuan-perempuan muslim di Pattani, Thailand.

Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam memberikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih

Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com


EmoticonEmoticon