Tuesday, June 4, 2019

Mudik Ke Penganan Tradisional

Mudik ke Penganan TradisionalClorot, kuliner khas Purworejo Jawa Tengah (Foto: Rinto Heksantoro)

Jakarta -

Penghuni Atlantis mengalami pencemaran dan wabah andal akhir penambangan minyak, sampah plastik, dan sisa-sisa kapal-kapal yang tenggelam. Habis sudah kesabaran Ocean Master. Semua sampah dan bangkai kapal dikembalikan ke darat. Mengerikan! Seperti menyimpan semua sampah di dalam kamar, sehabis 50 tahun sampah itu tak berkurang. Karena tak melihat sampah, seperti sampah itu tak ada, padahal ia awet entah di mana. Sehingga, adegan film Aquaman (2018) sepertinya perlu sungguh-sungguh dialami. Supaya, tak remeh pada sampah.

Kebanyakan sampah itu mulanya dari kemasan pangan yang berbahan kertas, plastik, aluminium foil, styrofoam, kaleng, atau kaca. Alasan utama penggunaan kemasan pangan tak ramah lingkungan itu lantaran kepraktisan, ketersediaan materi kemasan alami yang semakin sulit, juga desain kemasan yang berkembang (Listia Natadjaja dan Elisabeth Christine Yuwono, Kearifan Lokal Kemasan Penganan Tradisional, 2017).

Kemasan tak lagi urusan melindungi barang dagangan menyerupai artinya berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988). Kemasan telah menjadi industri terpisah dari produk dagangannya, isi dalam kemasan. Kemasan diproduksi melalui proses panjang desain komunikasi visual yang kadang dikaitkan dengan ketokohan action figure terkini, film, fesyen, bahkan tren. Sehingga melalui kemasan snack saja, bawah umur dapat mengetahui mainan, film, atau action figure apa yang lagi tren.

Di Yogyakarta, ada dua teladan berbeda kutub soal kemasan. Bakpia, penganan asal China yang aslinya disebut Tau Lok Pia, diproduksi di kampung Pathuk tahun 1948 hanya berkemasan besek tanpa label. Ketika penganan khas itu semakin diminati sebagai buah tangan khas Yogyakarta sekitar tahun 1990 gres dikemas dengan label yang hanya bertuliskan nomor rumah produksinya (bakpia25.com).

Kini bakpia tak cuma berisi kacang hijau. Misal, Bakpia Kenes Kunokini memperlihatkan isian coklat, keju, susu, green tea, biskuit, tiramisu, red velvet, teh tarik, taro, dan oreo. Tapi tentu tak dalam kemasan besek atau kertas menyerupai umumnya. Bakpia Kenes memperlihatkan sepaket rasa campur, dijajarkannya pada kemasan kertas karton keras dan bertulis rasanya di pecahan luar kemasan, kemudian dikemas lagi ke dalam karton lebih besar, bentuknya jadi menyerupai laci mungil atau wadah perkakas kecil. Keren bukan?

Tak jauh dari sentra bakpia itu, ada pedagang gudeg legendaris berjulukan Mbah Lindhu (97) yang telah puluhan tahun berdagang. Sejak diberitakan di harian Kompas dan media-media daring, gudeg Mbah Lindhu semakin laku saja. Wisatawan perlu antre untuk menikmati sepincuk gudeg Mbah Lindhu. Penyajiannya tak neko-neko atau melalui kerja kreatif desain komunikasi visual. Semua disajikan dengan daun atau selembar kertas nasi. Dengan tangan keriputnya itu, Mbah Lindhu mencomoti lauk, menyuiri ayam, tetapi tetap saja laku menjadi penjual gudeg paling laku di daerah wisata Malioboro.

Keduanya sebagai bukti perkembangan desain kemasan yang kian maju demi pasar, namun sekaligus menerangkan kemasan tak penting-penting amat. Penggunaan materi alam untuk kemasan juga masih digunakan untuk pudak Gresik, penganan berbahan sagu itu dikemas dengan pelepah daun pinang. Di Gresik juga ada jenang jubung, sesuai namanya penganan berbahan ketan, gula, dan santan ini dibungkus jubung alias kulit pohon pinang. Pelepah daun pinang dipilih lantaran teksturnya yang berpori, tak dapat diganti daun pisang atau plastik. Karena, pudak yang gres matang butuh pori untuk uap panasnya yang akan menjadi berair dan cepat busuk jikalau diganti plastik.

Di daerah Gresik, Tuban, dan Lamongan juga ada minuman khas berjulukan legen dan tuak. Di sana, minuman ini menjadi konsumsi sehari-hari. Legen orisinil rasanya manis tidak ada kecutnya, sedangkan tuak orisinil berasa manis agak asam, segar, dan menyerupai bersoda (Listia Natadjaja dan Elisabeth Christine Yuwono, 2017). Dari asal katanya, legen berarti kelegen (terlalu manis) dan tuak diartikan sebagai noto awak (mengatur tubuh).

Dulu, tuak dan legen disajikan pedagang keliling dengan memikul ongklek, alat pikul yang di kedua sisinya digantungi bambu sepanjang setengah meteran yang sudah lubang ruasnya sebagai wadah utama tuak dan legen, minumnya pakai bambu yang dipotong seukuran gelas. Legen dan tuak kini dikemas dengan botol plastik bekas air minum dalam kemasan. Menurut penikmat tuak dan legen, kemasan plastik ini menciptakan minuman itu terpapar matahari eksklusif yang menciptakan rasanya tidak senikmat dengan wadah bambu.

Daun pisang, pelepah pinang, daun-daunan, atau bambu digunakan bukan lantaran keterbatasan kemasan kala lalu. Pilihan itu melalui proses pembelajaran leluhur yang mengamati tekstur, aroma, warna, dan efek terhadap keawetan penganan tanpa materi pengawet. Namun lantaran keterbatasan bahan-bahan alami itu, industri penganan mulai mengemas dengan plastik dan karton. Isi penganan dan kemasan pun tak imbang, kemasan dibentuk besar sedangkan isinya hanya sedikit.

Kemasan yang semakin heboh kesannya menciptakan pembeli, khususnya bawah umur tak lagi mempertimbangkan isi. Jika Anda pernah mengajak bawah umur ke toko modern, biasanya ia akan merengek minta dibelikan coklat seukuran kelereng dikemas wadah unik berbentuk telur yang dipajang bersahabat kasir, dengan hadiah-hadiah terbarunya. Ia tak beli isi, ia beli wadah dan hadiahnya. Demikian juga snack bergambar kartun-kartun terbaru, dibeli lantaran gambarnya bagus, bukan lantaran isinya sehat atau perlu dikonsumsi.

Snack, kuliner cepat saji, minum-minuman, dikemas dengan sangat apik, bahkan warna dan bentuknya dibentuk semenarik mungkin untuk membuat kemecer hanya dengan melihat gambarnya di banner pinggir jalan, sehalaman koran, iklan pop up, hingga Go Food dan Grab Food dalam genggaman. Semua itu dengan satu tujuan --beli dan makanlah. Mengapa orang menjadi rakus melahap kuliner tinggi kalori dan minuman bergula, padahal terperinci tak menyehatkan? Masyarakat makmur mengalami obesitas, sedang di pinggiran negerinya ada yang mengalami stunting, dua duduk kasus yang disebabkan kelebihan pangan dan kekurangan pangan.

Dalam buku Sapiens: Riwayat Singkat Manusia (2019) yang ditulis Yuval Noah Harari, DNA insan modern masih sama dengan leluhur pemburu-pengumpul dari 30.000 tahun silam. Ketika menemukan pohon buah, insan zaman itu harus makan sebanyak mungkin yang ia dapat sebelum segerombolan monyet tiba melahap tanpa sisa. Itulah mengapa meski berada pada dunia berlimpah pangan, insting insan zaman ini ialah makan sebanyak mungkin.

Kegilaan pangan kesannya tak hanya menimbulkan duduk kasus lingkungan, budaya, tetapi juga kesehatan. Kegentingan gangguan kesehatan lantaran banyak, kekurangan, dan/atau salah makan ditunjukkan oleh penelitian Pusat Studi Regional Pangan dan Gizi Asia Tenggara ( SEAMEO RECFON) bahwa jumlah penderita tengkes (stunting) di Indonesia terbanyak kedua sehabis Timor Leste di Asia Tenggara (Kompas, 27/5/2019).

Tengkes tak melulu lantaran minimnya pangan di lingkungannya, tetapi ketidaktahuan orangtua akan kebutuhan gizi anak, sampai-sampai pemerintah mesti menciptakan kegiatan literasi pangan. Pemerintah melibatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, serta Kementerian Kesehatan. Salah satu literasi pangan yang dibentuk ialah sajian bekal siswa PAUD (pendidikan anak usia dini) yang sudah ditentukan oleh sekolah. Misalnya di PAUD Wangi Melati di Batang, Jawa Tengah warga desa itu kebanyakan petani, tetapi bawah umur mereka tak mengonsumsi sayuran, buah, dan kuliner berkarbohidrat.

Anak-anak lebih suka makan kuliner dalam kemasan, soda, dan sirup. Bahkan, bawah umur itu menangis dan mogok makan ketika isi bekalnya tak ada mie instan dan keripik. Ironisnya, orangtua tak menganggap ini sebagai duduk kasus lantaran postur badan anak mereka gemuk.

Menjelang Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriah, promo-promo produk kuliner semakin gila-gilaan. Berhalaman-halaman koran lokal dan nasional penuh dengan promosi produk makanan, juga di media online sampai papan iklan berukuran raksasa di pusat-pusat keramaian.

Dulu, sekaleng Khong Guan bagaikan "surga makanan" bagi anak-anak. Ia belum beranjak jikalau belum menikmati semua jenisnya. Karena harganya yang belum terjangkau, sekaleng Khong Guan menjadi sebuah tanda status sosial pemilik rumah. Hal ini juga yang menciptakan tetamu memicingkan mata memastikan isinya biskuit atau rengginan.

Anak-anak juga bahagia sekali menggenggam penuh kacang telur kemudian berlarian di halaman bersama saudara seusia. Seorang nenek atau ibu tak jemu-jemu mengulang-ulang kisah pada setiap tamu perihal cara ia menciptakan lemper, madumongso, lempeng, tape ketan dan singkong, dan kudapan buatan sendiri lainnya.

Mudik Idulfitri menjadi momentum bersilahturahmi dengan keluarga dan kerabat. Mudik juga berarti melepas rindu pada penganan tradisional yang tak berkemasan menarik dan berisi sedikit. Rindu membuka tape ketan buatan ibu yang hanya dikemas daun pisang tetangga, bukan snack berkemas warna-warni yang sedikit isi. Lebaran, semua orang rindu pada isi dan kembali menikmati isi, tak lagi pada kemasan dan penampilan belaka.


Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)