
Judul Buku: Melawan Rezim Infrastruktur; Penulis: Muhammad Ridha; Penerbit: Carabaca Makassar, 2018; Tebal: xxx + 162 halaman
Mencintai bukan berarti tanpa mengkritisi, mengkritisi bukan berarti membenci. Kredo itulah yang dipegang Muhammad Ridha, sehingga lahirlah buku berjudul Melawan Rezim Infrastruktur. Buku yang membedah kondisi kini --zaman Jokowi-- dan sedikit mengulas penguasa sebelumnya --zaman SBY-- ini wajib dibaca oleh para "kampret" dan "cebong" --istilah bagi masing-masing pendukung paslon capres-cawapres yang maju di Pilpres 2019 ini.
Dengan membaca buku ini, setidaknya semangat dari penulis yang juga merupakan pendukung Jokowi ini bisa ditiru, bahwa mendukung pemerintah bukan dengan taklik buta dan tanpa kritik. Justru kritik itulah bentuk lain dari cinta dan dukungannya. Sebaliknya, kritik yang dilakukan oposisi harus berdasar fakta dan data, bukan sekedar hembusan hoax semata.
Sebagaimana yang ditulis pengantar jago Hendro Sangkoyo, Kepala Sekolah Ekonomika Demokratik (SED), dalam buku ini diungkapkan bahwa ada kepentingan publik dalam kehadiran jalan raya. Namun semua itu terbantahkan ketika ada barisan protestor, iring-iringan pejabat pemerintah, rombongan hobbyist motor gede, gerakan besar-besaran pulang kampung, atau gerakan alam macam banjir atau tanah longsor. Yang muncul yaitu protokol diskriminasi.
Bicara jalan raya, harus menengok ke belakang sejarah, terutama di Indonesia. Kehadiran kolonialisme yang kemudian mengawali dengan membuat jalan, sebagai usaha yang mengarah ke intensifikasi eksploitasi terhadap sumber daya alam (SDA) dan konsolidasi kekuasaan kolonial. Penerbit sudah mengantarnya dengan menukil pendapat Anton Haryono (2011), yaitu penjajah melaksanakan intensifikasi dengan berfokus pada pembenahan alat dan organisasi produksi tradisional sedemikian rupa, sehingga bisa menghasilkan produk-produk pertanian ekspor dengan maksimal. Untuk memudahkan itu, dihadirkan jalan raya, di mana jalan raya telah menjadi simbol penanda kelas-kelas sosial. Kelas kaya mendapat jalan raya luas dan yang miskin hidup mengenaskan di gang-gang sempit yang kumuh.
Memulai pecahan pertama buku ini, penulis kembali mengingatkan akan sejarah awal jalan raya hingga lahirnya jalan tol atau jalan berbayar. Bicara jalan raya, tentu tidak bisa lepas dari adanya jalan raya pos yang dibangun Daendels. Jalan ini menghubungkan Anyar hingga Panarukan (lebih lengkap ada di pecahan tiga). Saat itu, jalan tersebut hanya boleh dilewati penduduk Eropa. Kaum pribumi dihentikan melewatinya, alasannya dikhawatirkan akan lebih cepat rusak. Karena itu, pribumi harus melewati jalur di luar Jalan Daendels. Kita akan sedikit melihat persamaan bahwa ketika ini dengan hadirnya jalan tol, jalan yang memisahkan antara yang punya uang dengan yang tidak. Mereka yang bisa membayar, akan bisa mengakses jalan tol, itu pun berlaku untuk roda empat ke atas.
Juga ada yang menarik dari goresan pena di buku ini, yang menyinggung adanya imbas tenurial dari proyek-proyek pembangunan di Pacitan ibarat pembangunan Jalur Lintas Selatan (JLS) Jawa, di mana ditemukan bahwa proyek jalan telah menjadi semacam faktor yang membuat semakin rentannya tenurial security bagi lahan-lahan pertanian atau petani semakin gampang melepas lahan pertanian dan semakin menyingkir ke kawasan pedalaman. Artinya, semakin sempitnya lahan-lahan pertanian. Fakta itu tidak hanya terjadi di Jawa. Penulis juga melihat fakta yang sama terjadi di Sulawesi Selatan.
Di pecahan kedua, penulis yang juga Dosen Filsafat UIN Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan itu melihat bahwa jalan raya merupakan ruang banyak sekali kepentingan. Ia melihat dua hal terkait jalan, yaitu sebagai model "ekonomi ruang" kapitalisme dan jalan membentuk identitas kelas. Sebagai model "ekonomi ruang" kapitalis, penulis merujuk atas argumentasi dari David Harvey yang menggambarkan bahwa pertukaran barang dan jasa, termasuk tenaga kerja hampir selalu menjadikan perubahan-perubahan dalam lokasi. Berikutnya, jalan membentuk identitas kelas. Studi yang dilakukan Alison J. Murray pada 1994 mengatakan kategori jalan juga membedakan kelas sosial. Di Jakarta, tempat Murray melaksanakan studi, jalan raya didiami oleh kelas menengah (orang kaya) dan di belakang jalan raya, gang-gang berjubel orang-orang kampung yang menjadi representasi kelas bawah Jakarta.
Jadi, jalan raya kesannya bukan hanya membangun makna harfiahnya saja, tetapi melingkupi konstruksi, kompleksitas, dan masalah-masalah sosial-politik di dalamnya. Seperti contohnya rezim Soeharto dulu memakai jalan raya sebagai simbol sesuatu yang "berbahaya", liar, dan tempat kejahatan gampang terjadi.
Bab tiga lebih banyak mengungkapkan sejarah pembangunan jalan raya di Indonesia, mulai dari jalan raya pos yang dibangun Daendels, hingga perkembangan jalan-jalan di beberapa kota di Indonesia. Seperti Bandung, Semarang, juga jalan di Kota Buton yang ada di Sulawesi. Kisah murung dan memilukan ada dalam goresan pena di pecahan ini, termasuk bagaimana eksploitasi yang luas biasa atas sumber daya alam Hindia Belanda (Indonesia sebelum merdeka) dengan mengirimnya ke Eropa. Berkat ekspoitasi tersebut, Belanda bisa kaya ibarat sekarang.
Berlanjut ke pecahan empat, penulis membahas bagaimana tugas dan fungsi jalan raya atau infrastruktur lainnya yang diciptakan untuk kelancaran sirkulasi dan akumulasi kapital bagi kelas borjuis. Bahasan letak strategis infrastruktur tidak sebatas jalan raya, namun juga mencakup bandara, pelabuhan, dan rela kereta api, sebagai pecahan penting dari seni administrasi "menaklukkan ruang dan waktu" sirkulasi komoditas di pasar untuk bisa kembali dalam jumlah yang lebih besar.
Memperlancar sirkulasi komoditas, dengan membuat infrastruktur sesungguhnya bukan hanya masa Jokowi saja. Sebelumnya, ketika kepemimpinan SBY sudah ada Master Plan Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang juga membangun jalan (salah satunya) untuk memperlancar komoditas. Para perencana yang menghadirkan MP3EI sesungguhnya sudah membayangkan membelah-belah pulau, membangun jalan, membuat keterhubungan antarpusat-pusat komoditas di seluruh kawasan di Indonesia. Strategi yang dilakukan dengan menyandarkan pembangunan dan ekspansi ekonomi pada pembangunan enam koridor ekonomi Indonesia, yakni koridor Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Maluku-Papua.
Penulis cukup kritis melihat kehadiran MP3EI dengan mencium aroma ketidakberesan dari pembangunan tersebut. Ia menyebut, pembangunan infrastruktur jalan raya nyatanya bersinergi dengan kehadiran smelter-smelter yang bertumbuhan di Sulawesi. Keberadaan jalan raya bukan diperuntukkan masyarakat luas, namun sejatinya hanya memudahkan kaum kapitalis dalam memindahkan produknya. Ia menengarai adanya kepentingan dari anak perusahaan Yusuf Kalla, PT Bukaka Mandiri Sejahtera yang mendapat jatah proyek smelter, juga perusahaan ipar dari Yusuf Kalla, yaitu Aksa Mahmud melalui PT Bosowa Metal Industri yang mendapat konsesi untuk membangun smelter, serta faksi bisnis gres di Sulawesi Selatan yang mempunyai hubungan baik dengan donor Jepang JICA yang menggarap sejumlah besar proyek di Bantaeng Smelter Bosowa yang akan dibangun untuk menunjang kerja usaha tambang nikel Group Bosowa di Konawe, Sulawesi Selatan.
Itu gres sebagian kecil saja, masih banyak lain. Demikian pula yang dilakukan rezim sekarang. Pertanyaan yang menggelitik, kepentingan siapa di belakangnya? Lalu, muncullah pertanyaan lain, siapa mendapat apa dan siapa tak mendapat apa-apa? Bagaimana proyek besar infrastruktur dan pembangunan ekonomi hanya berpihak kepada kelas pengusaha dan oligarki bisnis lokal, nasional, maupun internasional. Sedangkan bagi rakyat kecil, yang sudah menghadang di depan mata yaitu munculnya krisis perumahan, krisis ruang publik, krisis lahan, dan kenaikan harga-harga menjadi sajian awal dari derita panjang dari skandal tersebut.
Bab lima, penulis melihat apa yang dilakukan rezim sebelumnya dilanjutkan oleh rezim Jokowi. Keberadaan MP3EI dilanjutkan --meski berganti nama-- dan tetap saja menjadi ancaman konkret bagi rakyat kebanyakan. Penerapan public private partnership yang diandalkan masa sebelumnya, nyatanya juga menjadi andalan Jokowi-Yusuf Kalla. Logika yang dicontek yaitu memacu efektivitas dan efisiensi biaya transaksi ekonomi dan membuat keterhubungan antarwilayah-wilayah maju (secara ekonomi) dengan wilayah-wilayah yang terbelakang.
Lulusan Pascasarjana UGM ini mengkritisi keberadan jalan tol yang awalnya bertujuan untuk memfasilitas bisnis, nyatanya menjadi bisnis itu sendiri. Terlebih, semenjak adanya kemudahan swasta masuk di sektor ini. Bagaimanapun, bisnis jalan tol cukup menggiurkan. Konsensi yang diperoleh ditambah investasi pembangunan sangat menarik swasta masuk dan mempunyai ruas-ruas jalan tol tertentu sebagai tambang uang. Konsep PPP yang sesungguhnya di Eropa mulai ditinggalkan malah dipilih. Konsep yang mendorong penumpukan utang di masa depan dan memicu krisis, alasannya pemberatan anggaran justru menjadi pilihan. Penulis dengan gemasnya mengkritik bahwa pemerintah tengah sesat pikir, yakni mengganggap cantik sebuah praktik yang gagal dan ditinggalkan di sejumlah tempat.
Rekomendasi yang diberikan penulis muncul di pecahan enam atau pecahan terakhir. Yakni, merebut kembali jalan dari kaum modal yaitu langkah menarik untuk melawan rezim neoliberalis yang amat berpengaruh menyandarkan kepentingannya di jalanan, menumbangkannya dan membayangkan hidup yang baru, hidup yang lebih baik. Tentu saja ini tidak gampang dan diharapkan usaha keras.
Di luar kesalahan ejaan --semacam efektifitas, praktek, dan resim-- buku ini wajib dibaca semua pihak, "cebong" atau "kampret", atau bukan keduanya, biar pengetahuan mengenai jalan raya semakin lengkap. Infrastruktur, terutama jalan raya (jalan tol) yang tengah menjadi idola pemerintahan Jokowi, bukanlah sesuatu yang sempurna, namun ada beberapa hal yang patut dicermati dan diwaspadai. Apalagi ketika kepentingan modal mengikutinya.
Heru Setiyaka mahasiswa Program Magister Psikologi Pascasarjana Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon