
"Presiden (Jokowi) harusnya panggil Agum Gumelar itu untuk mempertanggungjawabkan apa yang beliau katakan itu (terkait peristiwa 1998) di depan pemerintahan," ujar Eko ketika dihubungi wartawan, Kamis (14/3/2019).
"Dari situ kemudian diungkaplah para korban yang waktu itu hilang misalnya, itu apakah masih hidup atau tidak. Kalau sudah mati, matinya di mana, di kubur di mana, dan itu ialah informasi publik," sambung Dosen FH UII ini.
Menurut Eko, Agum Gumelar secara moral wajib membuka dokumen insiden 1998 kepada publik. Kemudian pemerintah berkewajiban untuk membongkar kasus yang diduga berkaitan pelanggaran HAM berat ini di depan hukum.
Eko justru mempertanyakan apabila Agum tak bersedia membuka dokumen insiden 1998 ke publik. Dia juga mengecam apabila kasus dugaan pelanggaran HAM berat ini hanya dijadikan komuditas politik.
"Sebenarnya saya berpikirnya begini. Kejahatan yang serius ialah ketika informasi mengenai pelanggaran berat HAM masa kemudian itu hanya dijadikan komoditas politik oleh siapapun," ungkapnya.
"Tetapi ketika itu hanya menjadi tentang untuk kepentingan elektoral, itu ialah kejahatan baru. Kejahatan gres dalam bentuk melanggengkan impunitas bagi para pelaku," lanjutnya.
Oleh karenanya, Eko menilai kasus 1998 perlu segera diungkap. "Ini monumen, benar. Tetapi seharusnya sudah dilakukan dari dulu. Karena jikalau ini tidak dituntaskan, nanti Pilpres yang akan tiba muncul lagi," tutupnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Agum Gumelar menciptakan pengukuhan seputar sidang pemecatan Prabowo Subianto dari dinas kemiliteran. Baik BPN maupun TKN menanggapi pernyataan Agum.
"Tim Mawar yang melaksanakan penculikan itu, bekas anak buah saya semua dong. Saya juga pendekatan dari hati ke hati kepada mereka, di luar kerja DKP. Karena mereka bekas anak buah saya dong. Di sinilah saya tahu bagaimana matinya orang-orang itu, di mana dibuangnya, saya tahu betul," ujar anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini.
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon