Wednesday, March 20, 2019

Mayoritas Warga Solo Raya Tak Baiklah Kekerasan Berbasis Agama

Mayoritas Warga Solo Raya Tak Setuju Kekerasan Berbasis AgamaFoto: Ristu Hanafi/detikcom

Sleman -Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Losta Institute melaksanakan survei terhadap pendapat masyarakat di Solo Raya (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo) terkait tindak kekerasan dan non-kekerasan ekstrem berbasis agama. Dari 600 responden dengan bermacam-macam latar belakang, lebih banyak didominasi tidak sependapat terhadap motif dan cara kekerasan dan non-kekerasan ekstrem berbasis agama.

Survei dilakukan pada 12-16 Februari 2019 dengan teknik multistage random sampling, 600 responden tersebar di Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, dengan margin of error 4 persen dan wawancara tatap muka memakai kuesioner.

Untuk responden terbagi segmen pedesaan-kota 40-60 persen, pria dan wanita 50-50 persen, dengan distribusi sample Surakarta 23,3 persen, Boyolali 43,3 persen, Sukoharjo 33,3 persen. Dan demografi agama 92 persen responden Islam, 8 persen beragama lain, serta tingkat pendapatan, jenjang pendidikan, pekerjaan hingga kedekatan dengan ormas keagamaan.

Desain penelitian dengan pengukuran apakah kenal dan baiklah atau sebaliknya, terhadap insiden yang telah terjadi. Yakni insiden kekerasan berbasis agama mencakup bom WTC 9/11, bom Sidoarjo, ISIS dan sweeping ketika bulan Ramadan. Sedangkan insiden non-kekerasan berbasis agama ialah Aksi Bela Islam 212.

"Kesimpulan sementara hasil survei ini, secara umum, boleh dibilang masyarakat di tiga kabupaten ini pandangan terhadap motif, boleh jadi agak konservatif. Tetapi pada hal cara, masyarakat tidak setuju. Berarti approval terhadap tindak kekerasan itu relatif rendah," kata Direktur Eksekutif CSIS, Philips J Vermonte, Rabu (20/3/2019).

Hal itu disampaikannya dalam Paparan Studi Tindak Kekerasan dan Non-Kekerasan Ekstrem Berbasis Agama : Studi 3 Daerah di Solo Raya, di Hotel Grand Mercure Yogyakarta.

Philips menjelaskan bahwa pertanyaan yang diajukan kepada responden ialah mengutip pernyataan resmi dari pelaku tindak kekerasan di media massa. Jika tidak ada, maka dikutip pernyataan resmi dari pemerintah atau kepolisian.

"Responden dipaparkan dulu pernyataan resmi dari organisasi yang bersangkutan, menambah derajat objektivitas dari pertanyaan. Kaprikornus pertanyaan bukan kita yang buat, tapi fakta yang disampaikan oleh yang bersangkutan," terangnya.

Hasilnya, perilaku responden terhadap insiden bom WTC 7,8 persen baiklah dan mendukung motif, 79,3 persen tidak setuju. Sikap terhadap caranya, 5,1 persen setuju, 86,7 persen tak setuju.

Selanjutnya bom Sidoarjo, 2,6 persen baiklah motifnya, 89,9 persen tak setuju. 1,2 persen baiklah caranya, 97,1 tak setuju. Kemudian sweeping tempat hiburan malam ketika Ramadan, 42,7 persen baiklah motifnya, 51,8 persen tak setuju. Terhadap caranya, 24,5 persen setuju, 69,8 tak setuju.

Aksi ISIS, 4,2 persen baiklah motifnya, 90,1 persen tak setuju. Dan Aksi Bela Islam 212, 35,3 persen baiklah motifnya, 51,7 persen tak setuju. Dua insiden itu tidak ditanyakan soal perilaku terhadap caranya.

Khusus responden muslim juga ditanya terkait toleransi beragama. Hasilnya, 71,8 persen bersedia ada umat non-muslim membangun rumah ibadah di sekitar tempat tinggalnya, 90,4 persen bersedia bertetangga dengan non-muslim, 80,9 persen bersedia ada non-muslim merayakan Natal di lingkungan tempat tinggal responden.

Juga ditanya perilaku terhadap demokrasi, 57 persen baiklah pernyataan demokrasi memiliki kelemahan, tetapi tetap lebih baik daripada sistem pemerintahan yang lain. Dan 56,3 persen baiklah ketika ini di Indonesia rakyat bebas mengkritik pemerintah tanpa harus merasa takut.

Philips mengungkapkan pertimbangan target survei di Solo Raya. Yakni segi kepraktisan dan menguji perkiraan yang beredar.

"Pertama segi praktis, berawal dari workshop Persepi bulan Desember, kesannya diuji coba terkait bagaimana melaksanakan survei dengan bahan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya sensitif, kemudian partner, anggota lokal kita itu, ini secara praktis, ialah teman-teman Losta di Yogya yang sudah berpengalaman melaksanakan riset di sini (sekitar DIY-Jateng). Kedua, ada asumsi-asumsi perihal bagaimana wilayah Solo Raya, yaudah kita lakukan survei di Solo Raya, untuk melihat seberapa benar perkiraan perihal sumbu pendek, dan lain-lain itu," terangnya.

Di kesempatan yang sama, Mohammad Iqbal Ahnaf dari Center for Religious and Cross-Cultural Universitas Gadjah Mada (UGM) merespon positif hasil survei ini.

"Sebagian kalangan, Solo Raya dianggap daerah sumbu pendek, pertanyaan paling sering muncul ialah toleransi atau kekerasan. Ini lebih banyak kabar baiknya daripada kabar buruk. Memberikan optimisme relasi keberagaman ada ruang terbuka, ada modal sosial di masyarakat," ujarnya.

"Dukungan terorisme rendah di kalangan masyarakat, meski narasi terorisme banyak di medsos, tapi resonansi di masyarakat rendah. Ada basis kita untuk optimis masa depan toleransi di Indonesia," lanjutnya.

Meski demikian, Iqbal meminta supaya perilaku masyarakat yang mendukung motif dan cara kekerasan berbasis agama tidak dipandang sebelah mata.

"Walau kecil tidak sanggup dinafiikan, kelompok ini sering kasatmata di ruang publik. Sehingga bila tidak diimbangi sanggup besar lengan berkuasa ke masyarakat luas, supaya bunyi toleransi lebih vokal, ketahanan modal sosial sanggup ditingkatkan dari masyarakat sendiri, juga dari pemerintah," imbuhnya.


Sumber detik.com


EmoticonEmoticon