
Guunungkidul -Memicu ilham kreativitas seseorang sanggup dilakukan dengan aneka macam cara. Salah satunya menyerupai yang dilakukan Sekolah Menengah Pertama N 3 Playen, Gunungkidul di mana seluruh muridnya diajak mendesain sendiri corak baju batik yang dikenakan setiap hari Rabu.
Mengunjungi sekolah yang berlokasi di Desa Bandung, Kecamatan Playen, Gunungkidul, detikcom mendapati murid-murid yang tengah mengikuti aktivitas berguru mengajar. Bukan berseragam putih biru khas SMP, murid-murid tersebut tampak mengenakan baju batik warna warni yang dipadu celana panjang materi kain berwarna putih.
Selain itu, baju batik yang dikenakan murid-murid tersebut ternyata mempunyai corak dan warna yang berbeda-beda. Terlebih, corak batik pada baju yang dikenakan murid-murid tersebut tampak tak begitu rapi.
"Karena itu semenjak tahun 2014 murid di sini (SMP N 3 Playen) wajib mengenakan baju batik di hari Rabu, dan baju batiknya harus dari hasil membatik murid itu sendiri," ungkapnya dikala ditemui di Sekolah Menengah Pertama N 3 Playen, Desa Bandung, Kecamatan Playen, Gunungkidul, Rabu (10/4/2019).
![]() |
Pria yang fokus mengajar seni rupa ini melanjutkan, pemakaian baju batik ke sekolah juga alasannya dimasukkannya batik ke dalam kurikulum muatan lokal. Berkenaan dengan hal itu, maka setiap murid diwajibkan membatik semenjak duduk di dingklik kelas 7.
Menurut Agus, hal itu telah disosialisasikan kepada orangtua murid dikala anaknya diterima di Sekolah Menengah Pertama N 3 Playen. Terlebih, respons dari orangtua murid menyambut baik kebijakan dari sekolah.
"Program membatik sudah dilakukan semenjak kelas 7, sistemnya murid-murid itu membatik baju warna putih bersama-sama. Karena membatik itu lama, jadi dilakukan secara giliran dan memakan waktu 3-4 bulan," ucapnya.
"Karena kan harus menyalakan kompor dan menunggu lilin mendidih dulu, terus lilinnya diambil pakai canting dan digoreskan ke baju warna putih, itu yang bikin lama. Apalagi kelas 7 ada 112 murid, jadi harus bergantian juga membatiknya," imbuh Agus.
Agus menyebut, dikala pertama kali membatik, sekolah memakai media kain selebar 2 meter persegi kemudian digambar memakai canting. Namun alasannya prosesnya memakan waktu yang cukup usang dan harus menjahitkan lagi materi ke penjahit risikonya sekolah menentukan teknik membatik di atas baju polos.
"Terus banyak yang kecewa alasannya motif yang dinginkan murid-murid hilang alasannya kepotongan untuk materi jahitan baju, jadi risikonya pakai baju polos tadi dan ternyata pengerjaannya sanggup lebih cepat," katanya.
"Untuk pewarnanya kita pakai remasol yang sanggup colek dan celup, alasannya bila pakai naptol harus dibuka tutup. Apalagi dengan remasol yang sanggup dicolek dan dicelup menciptakan warna baju batik berwarna-warni," sambung Agus.
Selain itu, penggunaan canting untuk membatik baju polos tersebut biar murid-muridnya mengetahui bagaimana proses pembuatan batik jaman dahulu. Mengingat batik yang bahu-membahu digambar memakai canting.
![]() |
"Karena membatik itu memakan waktu, untuk murid-murid yang baju batiknya belum jadi boleh pakai baju batik yang dimilikinya. Tapi bila baju batiknya selesai ya wajib pakai baju batik hasil membatik itu," ujar Agus.
Teknis membatik sendiri diawali dengan menciptakan gambar hias di secarik kertas. Dimana gambar tersebut selanjutnya dimal ke baju batik, digambar memakai canting dan selanjutnya diwarnai.
"Kita ambil unsur khas Jogja ialah batik Kawung dan dipadukan dengan kreativitas masing-masing murid untuk coraknya. Sedangkan pewarnaan baju kita ikuti warna logo sekolah, menyerupai warna biru, kuning, hitam dan putih," katanya.
![]() |
Agus menambahkan, untuk aktivitas membatik, semua murid wajib melakukannya di sekolah, baik dikala pelajaran kesenian, ekstra kulikuler bahkan dikala murid sedang mempunyai waktu senggang. Hal itu dikarenakan membatik memakan waktu yang cukup lama.
"Semuanya (baju batik yang dikenakan murid) dibentuk di sekolah, sanggup pas jam (pelajaran) seni budaya, pas libur hari Sabtu juga boleh, biasanya murid-murid nanti hubungi saya bila mau membatik," katanya.
Agus menjelaskan, untuk biaya membatik sendiri berasal dari iuran murid dan 20% memakai dana BOS. Menurutnya, rincian tersebut telah disebutkan pada surat edaran yang ditujukan kepada orangtua murid.
"Cost (biaya) katakanlah Rp 110 ribu dan sekolah membantu 20 persen lewat BOS. Biaya itu dari iuran perkelas. Mereka (murid-murid) juga boleh bawa baju polos warna putih, lilin malam dan peralatan membatik dan bila keterbatasan alat kami sediakan," katanya.
"Selama punya kreativitas peralatan membatik tidak jadi problem dan kami bantu. Kaprikornus prinsipnya asal murid bahagia kan kreativitasnya jadi muncul untuk membatik, dan itu salah satu tujuan kami mewajibkan murid untuk membatik baju batik yang dikenakan setiap hari Rabu," imbuhnya.
Salah satu murid kelas 7, Iftitah Ananda (13) menyampaikan bahwa ia sebelumnya tidak tahu peraturan yang mewajibkan setiap murid Sekolah Menengah Pertama N 3 Playen untuk membatik sendiri baju batik yang dikenakan setiap hari Rabu. Terlebih, ia tidak mengetahui bagaimana cara membatik.
"Sebelum masuk ke sini (SMP N 3 Playen) saya belum tahu caranya membatik, terus diajari itu dan risikonya mulai sanggup buat sendiri desainnya dan membatik di baju untuk seragam hari Rabu ini," katanya.
"Jadi ya seneng aja sanggup membatik dan pakai baju batik buatan sendiri," imbuh Ananda.
Lanjut warga Desa Gari, Kecamatan Wonosari ini, bahwa untuk proses membatik memang terbilang lama. Namun alasannya dilakukan bersama-sama proses membatik menjadi menyenangkan.
"Kalau saya yang buat baju batik ini 3 mingguan, seminggu menggambar, seminggu mencanting lilin malam ke baju polos dan seminggu mewarnai," pungkasnya.
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon