
Jakarta -Kasus akun Facebook oknum aparatur sipil negara (ASN) Tangerang, Amelia Fitriani, yang menghina pekerjaan babu di media sosial, menarik perhatian masyarakat luas. Sama menyerupai kasus-kasus lain, ujaran bernada hinaan banyak berakhir viral. Mengapa sanggup demikian?
"Dalam realitasnya, masyarakat masa kini makin intens dan hidup dalam media sosial. Berbagai data memberikan bahwa jumlah waktu yang dipakai oleh masyarakat untuk berelasi dengan media umum terus bertambah," kata pengamat komunikasi dan budaya digital Firman Kurniawan dalam keterangannya, Sabtu (29/6/2019).
Bukan hanya pola komunikasi masyarakat yang berubah, tapi 'tempat hidup' masyarakat ketika ini juga bergeser, yakni dari dunia analog ke dunia digital yang sifatnya virtual. Dengan keadaan menyerupai itu, masyarakat disebut akan dengan gampang terpancing perhatiannya bila melihat hal-hal yang melenceng, menyerupai hinaan.
Firman menjelaskan lebih jauh soal implosi tersebut. Analoginya, ketika ada ledakan, yang terpengaruh ialah yang berada di luar ledakan. Namun, dalam implosi yang dijelaskan Firman--yang dipicu oleh berlimpahnya jumlah informasi--informasi yang bertambah bersifat terus-menerus hingga melebihi daya tampungnya.
"Akibatnya terjadi ledakan yang berakibat pada produsennya sendiri. Hal yang kita rasakan sebagai indikasinya, sering informasi yang bahu-membahu tak kita butuhkan mampir dalam ruang-ruang kesadaran kita. Menyedot perhatian yang bahu-membahu tak ingin kita berikan. Demikian juga dengan perkataan tak pantas, presentasi sikap kontroversial, perselisihan paham memaksa masuk dalam kehidupan masyarakat: minta perhatian," ulas Firman.
Soal apakah perlu ada rambu-rambu bermedia sosial berangkat dari masalah ASN penghina babu, Firman mengatakan, dalam praktik komunikasi lewat media sosial, pelaku tak memberikan materinya secara langsung, namun lewat mediator medium. Implikasinya, apa pun pendapat yang hendak disampaikan, meluncur tanpa beban perasaan pelakunya.
Gejala ini, menurutnya, sanggup disaksikan dengan referensi material-material pembicaraan yang menggunakan bahasa ekstrem hingga diksi yang sanggup membuat keadaan tidak nyaman. Dan sebagai respons, sikap yang sama ditunjukkan oleh pihak yang menanggapi, dalam hal ini sanggup disebut masyarakat yang memviralkan.
Kondisi viralnya ucapan hinaan, berdasarkan Firman, tak terlepas dari masyarakat internet yang 'marah'. Pernyataan bernada ekstrem acap kali dibalas dengan balasan yang tak kalah dahsyat hingga berujung viral.
"Tak berlebihan bila keadaan ini kita rasakan sebagai bangkitnya 'masyarakat yang marah': the angry society by social media. Pangkalnya terpicu oleh siklus memberikan pernyataan ekstrem dan direspons dengan ekstrem pula. Apakah perlu rambu? Jelas ya, kalau keadaannya sudah tidak nyaman dan tidak sehat, komunikasi tidak sanggup berjalan semestinya, maka perlu pengaturan bersama untuk mengembalikan suasana komunikasi lewat media umum yang nyaman," tutur Firman.
Karena itu, Firman menyarankan sikap hati-hati untuk selalu dikedepankan dalam bermedia sosial semoga terhindar dari masalah serupa penghinaan terhadap babu oleh oknum ASN Tangerang itu.
"Seperti uraian di atas, statement apa pun, apalagi yang bernada menghina, bakal memperoleh perhatian dari masyarakat pengguna media sosial. Maka, untuk mencegah timbulnya keadaan yang tak produktif, sikap selalu berhati hati (mindful) ialah kunci keselamatan berelasi dengan media sosial," saran Firman.
Buntut masalah ini, Amelia Firiani dimutasi oleh Pemkot Tangerang. Dia dipindah dari kiprah fungsional Inspektorat menjadi staf di salah satu kelurahan di Kecamatan Periuk.
"Saya alih tugaskan di wilayah supaya berinteraksi dan sanggup lebih memahami kondisi sosial masyarakat," kata Wali Kota Tangerang Arief Wismansyah kepada detikcom, Tangerang, Banten, Jumat (28/6).
Tonton Video MK Jawab Tudingan Saksi 02 soal Deklarasi ASN:
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon