
Jakarta -Usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak somasi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, muncul isu soal berakhirnya koalisi pendukung Prabowo-Sandi. Bila benar koalisi itu bubar jalan, apa jadinya bila pemerintahan Presiden Jokowi berjalan tanpa oposisi?
Adalah Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang memberikan bahwa Prabowo menyampaikan koalisi berakhir begitu putusan MK diketok. Isu ini juga bergulir seiring meluncurnya anjuran dingklik pemerintahan untuk Partai Gerindra, partainya Prabowo.
Peneliti departemen politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, menjelaskan oposisi mempunyai kegunaan dalam pemerintahan demokratis, yakni menjalankan fungsi kontrol dari parlemen.
Baca juga: Nasib Oposisi di Indonesia dari Masa ke Masa |
Pernah, pemerintahan di Indonesia berjalan tanpa oposisi yang cukup memadai, yakni pada masa Orde Baru Soeharto. Saat itu dominasi Presiden terlalu kuat, sistem checks and balances tak maksimal. Arya melihat masa itu sudah berlalu dan demokrasi Indonesia telah berkembang ke arah yang lebih baik sampai kini. Namun kini, usai Pemilu 2019, bila semua partai ditarik menjadi pro-Jokowi, maka langkah mundur berpotensi terjadi.
"Kalau semua partai ditarik ke dalam pemerintahan, itu yaitu kemunduran dalam demokrasi kita. Tak akan ada lagi kontrol dan penyeimbang di parlemen, tak akan ada lagi diskursus politik. Kalau pun ada oposisi di luar parlemen, itu tak akan punya power yang mencukupi. Mereka hanya akan teriak-teriak dari luar pagar," kata Arya.
Semangat rekonsiliasi yang digelorakan usai Pilpres 2019 berpotensi disalahartikan menjadi semangat meniadakan oposisi. Caranya yaitu dengan mengakomodasi kelompok yang semula berseberangan untuk menjadi pendukung pemenang kontes. Konretnya: tawarkan dingklik menteri untuk politikus oposisi.
"Padahal, rekonsiliasi bukanlah akomodasi. Rekonsiliasi berarti janji membangun bangsa dan negara, mengakhiri pertikaian. Akomodasi politik lewat pertolongan jabatan ke parpol yang berseberangan yaitu cara yang keliru. Menurut saya, rekonsiliasi bukan berarti mendiadakan oposisi," tutur Arya.
Pemilu 2019 digelar serentak. Parpol-parpol yang berlaga sudah berkelompok semenjak awal sebelum Pemilu. Kelompok itu didasarkan atas kesamaan visi dan misi. Namun begitu putusan MK, kelompok-kelompok yang berbeda visi dan misi ini berpotensi tercampur.
Arya memprediksi, kalau Jokowi memaksakan diri mengakomodasi kaum oposisi, itu justru berbahaya bagi pemerintahannya kelak. Soalnya, ia melihat, karakteristik kaum oposisi dan pendukung Jokowi cukup berbeda.
"Terlalu banyak perbedaan, ini akan merugikan Jokowi bila menarik semuanya ke pemerintahan. Itu malah dapat menjadi bumerang," kata Arya.
Apa benar tak akan ada oposisi lagi?
Arya melihat, oposisi tak akan benar-benar lenyap dari peta politik Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin kelak. Yang ada hanya reposisi koalisi. Meski ada oposisi, namun itu bukanlah oposisi yang cukup bertenaga.
"Saya kira nanti tetap akan ada oposisi, tapi oposisi yang lemah," kata Arya.
Sambil membolak-balik laman berita-berita daring, Arya melihat ada PKS yang masih ngotot di jalur oposisi. Indikasinya, ada berita-berita soal nada pernyataan politikus PAN dan Partai Demokrat yang mengarah mendekati Jokowi. Bahkan Gerindra sudah ditawari kursi, namun belum tegas ditolak. Hanya PKS yang ia lihat tegas ingin tetap menjadi oposisi.
"Saya kira PKS kalau solid di jalan oposisi, bunyi orang yang kecewa dapat terkumpul di PKS semua, tidak tidak mungkin ia dapat memetik hasil di Pemilu 2024," kata Arya.
Tonton Video Ke Mana Demokrat dan PAN Berlabuh Usai Putusan MK?:
Sumber detik.com
EmoticonEmoticon